Tampilkan postingan dengan label kompetisi menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kompetisi menulis. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Juni 2022

Menumbuhkan Renjana Kerja SDM Kemenkeu Satu untuk Indonesia Maju

Artikel ini adalah tulisan yang aku buat untuk mengikuti lomba menulis dalam rangka Hari Oeang yang diselenggarakan kalau tidak salah oleh Kanwil DJBC Sulbagsel yang tidak menang. Wkwkwkw. Entah kenapa aku juga kurang puas sama hasil tulisanku ini. Selain bikinnya buru-buru juga agak kurang gimana gitu. Ya wajarlah ga menang hehe. At least tetep mencoba walaupun kalah, daripada tidak ambil kesempatan sama sekali. Fix motto hidup.

Resiliensi Indonesia terbukti teruji ketika berhasil melalui puncak gelombang kedua pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) pada Juli hingga Agustus 2021 lalu. Bahkan negara Group of Twenty (G-20) hingga lembaga dunia seperti Bank Dunia (World Bank) dan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) memuji kecakapan Indonesia dalam mengendalikan transmisi varian baru (Delta). Hal ini tidak terlepas dari akselerasi vaksinasi Covid-19 yang telah mencapai lebih dari 100 juta dosis suntikan hingga Oktober 2021. Prestasi ini membawa Indonesia menduduki peringkat pertama indeks pemulihan Covid-19 di Asia Tenggara.

Pengadaan dan pelaksanaan vaksin dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan anggaran sejumlah 58,11 triliun Rupiah. APBN telah berperan sebagai game changer dalam Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Realokasi anggaran yang difokuskan pada PC-PEN, ditambah kebijakan Pemberlakuaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah mampu menekan laju penularan dan membangkitkan kembali ekonomi. Ekonomi tumbuh positif sebesar 7,07% pada triwulan II tahun 2021. Sementara defisit APBN terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB)  mampu ditekan hingga minus 2,32% per Agustus 2021 (BKF,2021).

Tak salah bila berlandaskan data tersebut, perlahan namun pasti, Indonesia telah merangkak naik dari jurang resesi dan pulih dari hantaman krisis akibat pandemi. Indonesia berhak merayakan ketangguhan bertumbuh dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Meski demikian, kewaspadaan harus tetap dinomorsatukan.

Pandemi boleh jadi sebuah hantaman besar bagi mimpi Indonesia menuju predikat negara maju pada 2045. Pada tahun tersebut, Indonesia diproyeksikan memperoleh bonus demografi dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) berusia produktif diantara 309 juta penduduknya. Ekonomi Indonesia di masa emas tersebut juga diprediksikan menjadi terbesar keempat dunia. Target ini tidak terdengar muluk-muluk apabila sejumlah prasyarat dapat terpenuhi, dimulai dengan infrastruktur yang memadai, pembangunan daerah yang baik, kemampuan mengadopsi teknologi, kebijakan ekonomi yang baik, dan SDM yang berkualitas tinggi (Kemenkeu, 2021).   

Menyoal SDM berkualitas, negara perlu menyiapkannya sejak kini. Menitikberatkan pada pentingnya dukungan gizi sejak calon bayi masih dalam kandungan Ibu, pencegahan stunting pada seribu hari pertama, hingga jaminan pendidikan dan kesempatan untuk meraih pendidikan hingga jenjang tertinggi. Indonesia dapat berkaca dari salah satu negara dengan indeks kesejahteraan anak tertinggi versi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD): Swedia.

Swedia memiliki konsep pengasuhan anak ala Swedia yang populer di seluruh dunia. Tidak berhenti disitu, Swedia juga dikenal dengan filosofi hidup “Lagom” yang mengajarkan tentang keseimbangan kehidupan. Lantaran hal itu, maka tak heran jika Swedia juga menempati posisi teratas dalam indeks kebahagiaan, keseimbangan hidup dan pekerjaan (work-life balance), serta indeks kesejahteraan masyarakat dan kepuasan hidup menurut OECD. Pemerintah Swedia memperhatikan seluk beluk kesejahteraan warganya sedari kanak-kanak hingga terciptalah masyarakat dewasa yang bahagia. Maka tidak mengherankan jika remaja visioner seperti Greta Thunberg, sang aktivis lingkungan dan pemerhati perubahan iklim global tumbuh dari lingkungan ini. Hal ini pun nyatanya berkorelasi dengan tarif pengenaan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah Swedia bagi warganya, yakni mencapai 52,9% dari penghasilan yang diperoleh orang pribadi.

Jangan khawatir, Indonesia pun tak kalah layak untuk menuju gerbang besar kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Tujuan negara Indonesia telah tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kancah global, pemerintah juga telah berkomitmen dalam sebuah rencana aksi berjuluk Sustainable Development Goals (SGDs) guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan.

Bermula dari langkah pemungutan pajak Indonesia yang terus bereformasi menuju basis pajak yang lebih kuat dan merata, APBN sehat dan berkelanjutan, serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam kerangka besar transformasi kelembagaan yang diusung oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas resmi penghimpun pajak terus berupaya membangun sistem perpajakan yang adil, efektif, dan akuntabel.

Pada hakikatnya, publik Indonesia memiliki rasa simpati dan gotong royong yang tinggi. Fakta ini dibuktikan dengan kesuksesan Indonesia meraih predikat sebagai negara paling dermawan di dunia berdasarkan riset Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021. Justru di tengah pandemi, Indonesia mampu bersatu meninggalkan berbagai latar belakang suku, agama, ras, budaya, dan kepentingan pribadi, untuk saling menolong. Paradigma ini yang semestinya dapat diangkat sebagai persepsi kesadaran pajak dalam masyarakat. Bahwa berkontribusi dengan membayar pajak, sama dengan sumbangsih dari pihak yang lebih mampu yakni wajib pajak yang membayar atau dipungut pajak, kepada warga prasejahtera yang membutuhkan, warga sakit yang mengharapkan kesembuhan, atau sesederhana kepada seluruh masyarakat yang memperoleh suntikan vaksin.

SDM Kemenkeu RI sebagai garda depan pengelolaan keuangan negara, merupakan pilar-pilar utama ihwal mewujudkan kesejahteraan tersebut. Kuncinya adalah menumbuhkan renjana kinerja berbasis aksi inisiatif yang berpedoman pada nilai-nilai, kode etik, dan budaya Kementerian Keuangan, dengan tanpa meninggalkan potensi dan talenta yang dimiliki.

 

Strategi Renjana Kerja

Setidaknya terdapat empat strategi yang dapat diimplementasikan oleh SDM Kemenkeu RI untuk menumbuhkan etos atau renjana dalam bekerja melampaui ekspektasi.

Pertama, mengutamakan kolaborasi di atas kompetisi. Selaras dengan nilai sinergi, kolaborasi adalah metode menghimpun ide, pemikiran, dan aksi terbaik dari berbagai sumber berbeda yang bermanfaat bagi kepentingan organisasi. Keberhasilannya ditentukan oleh niat untuk mengeliminasi kecintaan berlebihan akan unit sendiri, menghapus silo-silo, dan mempersilahkan hadirnya penghargaan akan keragaman. Opsi ini sejalan dengan slogan Kemenkeu Satu yang telah diusung oleh Kemenkeu RI.

Kedua, senantiasa mengeskalasi kompetensi dan mengasah potensi diri. Kemampuan beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital sangat esensial di era society 5.0 saat ini. Kemahiran ini dapat dikuasai dengan menjadi insan pembelajar yang senantiasa melakukan pembaruan wawasan dan informasi terkait kebijakan fiskal, keuangan negara, teknologi informasi, dll. Disamping hard skill, soft competency seperti berpikir kreatif, kepemimpinan, komunikasi, dll, juga penting untuk menunjang kinerja maksimal.

Ketiga, mendukung, mendorong, dan mengamplifikasi program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan (RBTK) yang tengah bergulir dalam tubuh organisasi. SDM Kemenkeu RI berperan sebagai agen perubahan yang tidak saja memberikan teladan, tetapi juga mengajak pihak internal maupun eksternal (pemangku kepentingan) untuk menyukseskan program RBTK Kemenkeu RI.

Keempat, menerapkan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance). Gairah kerja akan otomatis terbentuk apabila seseorang telah mampu memaknai fungsi dan nilai bekerja bagi dirinya. Selanjutnya, ia harus mampu memanajemen waktu dan berbagai perannya dalam kehidupan tersebut secara optimal.

 Sebagaimana piramida kebutuhan menurut Abraham Maslow, bekerja bermakna tidak lagi sekadar tujuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan primernya, melainkan juga kemampuan memenuhi kebutuhan pada puncak tertinggi piramida, yaitu mengaktualisasikan diri dan memberikan manfaat bagi bangsa dan sesamanya.

Rabu, 01 Juni 2022

Apa Phobia Terbesarmu?

Artikel ini adalah tulisan untuk mengikuti lomba dari komunitas menulis binaan Om Budiman Hakim dan Kang Asep Herna, namanya "The Writers". Tulisan yang menang dapet hadiah uang yang lumayan gede, makanya aku tertarik ikutan. Sayangnya ga menang hehe. Tapi emang tulisan yang juara 1 keren banget, nyeritain pengalamannya waktu terpisah sama keluarganya pas hectic gempa Lombok. Bacanya ikutan deg-degan dan panik, bener-bener alur cerita yang bisa menyentuh kalbu pembaca. Lalu kemudian karya-karya terbaik sisanya dibukukan gitu. Dan punyaku....hmmm ya jelas enggaklah haha. Ternyata baru sadar kalo aku salah strategi. Tulisannya mostly tulisan gaya frees style berkonsep naratif, sedangkan tulisanku lebih ke arah esai. But it's okay, never stop learning. Oiya, tulisan ini juga aku post di website-nya The Writers disini

Saat kehamilanku sudah mendekati Hari Perkiraan Lahir (HPL), pikiranku mulai berkecamuk. Alih-alih merasa bahagia karena akan segera bertemu bayiku, aku justru dibayang-bayangi perasaan takut yang sulit dijelaskan. Banyak pertanyaan menggantung di ruang pikirku mulai dari apakah akan sesakit yang diceritakan orang-orang? Apakah prosesnya akan berlangsung lama dan menyengsarakan? Apakah aku dapat melaluinya dengan tenang…..dan selamat. Dan apakah-apakah lainnya yang menyita kewarasanku. Jika sudah demikian hanya satu jurus yang dapat mendamaikanku. Berkomunikasi. Pertama berkomunikasi dengan Tuhan sebagai penolongku. Kedua berkomunikasi dengan janin di dalam perutku untuk dapat kuajak bekerja sama. Sekejap, rasa takut itupun berangsur menghilang.

Pernah pula aku dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis. Di tengah situasi pandemi saat ini, logika mendorongku untuk terus waspada. Terlebih aku memiliki bayi dan kedua orang tua yang memiliki penyakit penyerta. Aku harus benar-benar awas dan berhati-hati untuk tidak tertular dan menularkan Covid-19 tanpa disadari. Dilema muncul ketika acapkali datang tawaran kumpul-kumpul teman atau keluarga di musim seperti ini. Mengkomunikasikan kepada mereka yang tidak semua memiliki pemahaman yang sama tentang bahaya penyakit ini adalah sebuah tantangan tersendiri. Belum lagi, sindiran keras yang justru terlontar jika berani menolak hadir. Di sisi lain, nuraniku berontak, tidak berani kugadaikan keselamatan orang-orang tersayangku dengan ketakutan pada cemoohan. Akhirnya aku bertekad untuk berani melawan rasa takut dan menolak kalah dengan rasa sungkan, tentu dengan jujur menyampaikan alasan untuk izin tidak ikut acara. Untung saja, mereka dapat memahami kondisiku dan tidak memaksakan kehendak lagi.

Dua pengalaman tersebut adalah kisah nyata bagaimana komunikasi menjadi strategi ampuh bagiku untuk melawan ketakutan. Ketakutan? Ya, bukankah ketakutan alias phobia juga bagian dari suatu permasalahan pribadi kita?   

Lalu, apa ketakutan terbesarmu?

Pada umumnya orang-orang akan menjawab hal-hal random yang diterima akal sebagai sesuatu yang memang menakutkan. Misalnya hewan buas, ketinggian, tempat sempit dan gelap, dan lain-lain. Tapi tahukah kamu apa ketakutan terbesar 3 dari 4 orang di dunia? Berdasarkan hasil survei yang diungkapkan oleh Christine Stuart dalam bukunya “Effective Speaking” diketahui bahwa ketakutan terbesar orang-orang yang disampling adalah berbicara di depan publik!

Survei ini meminta 3000 orang dewasa di Amerika untuk menuliskan 10 ketakutan terbesar dalam hidupnya. Phobia public speaking keluar di urutan teratas dengan persentase 41% disusul oleh phobia ketinggian dengan persentase 32%, phobia serangga dengan persentase 24%, phobia permasalahan finansial dengan persentase 23%, dan phobia kematian dengan persentase 19%. Bahkan faktanya, 5% dari populasi dunia atau ratusan juta orang berusia 18 hingga 24 tahun mengalami phobia public speaking setiap tahunnya, tanpa mengenal gender.

Aku menyaksikan sendiri seniorku di kantor yang dikenal jenaka dan memiliki interpersonal skill yang baik, mendadak pucat dan berkeringat dingin saat diminta presentasi di depan forum. Bahkan tangannya yang memegang kertas pun terus gemetar akibat menahan nervous yang teramat sangat. Kakinya tremor, pun intonasi suaranya terdengar bergetar seperti akan menangis. Dari pengakuan beliau, phobia public speaking telah lama dialami oleh beliau, bahkan sampai detik ini saat beliau telah menjadi pejabat. Padahal sebagai seorang pejabat fungsional, beliau dituntut untuk familiar dengan kemampuan komunikasi dan negosiasi, serta berbicara formal di depan khalayak. 

Ketakutan berbicara di depan publik ini disebut dengan Glossophobia. Glossophobia berasal dari bahasa Yunani glossa yang berarti lidah, dan phobos yang berarti ketakutan. Phobia ini dapat berkembang menjadi ketakutan sosial (social phobia) atau gangguang kecemasan sosial (social anxiety).    

Gejala umum yang dialami pengidap Glossophobia antara lain wajah memerah (blushing), berkeringat (sweating), gemetar (trembling), jantung berdegup kencang (palpitation), mual (nausea), gagap (stammering), dan berbicara dengan sangat cepat (rapid speech). Persis seperti gejala yang dialami seniorku tadi. Cerita berbeda, mentor kelas public speaking-ku pun pernah mengalami kondisi semacam ini sedari kecil. Dari cerita beliau, glossophobia versinya konon disebabkan karena vonis dokter. Akibat benturan kepala belakang yang dialami beliau saat kecil, dokter mendiagnosa bahwa terjadi permasalahan pada otak beliau yang menyebabkan kemungkinan gangguan bicara. Vonis dokter itu seolah tersugesti kuat dalam persepsi beliau. Akibatnya dari kecil hingga dewasa, beliau tumbuh dengan keyakinan bahwa beliau mengalami gagap bicara yang menyebabkan beliau takut untuk berbicara di depan umum.

Untungnya, beliau cepat tersadar dan bertekad untuk keluar dari ketakutan ini. Komitmen beliau dimulai dengan pemahaman bahwa phobia akan public speaking akan berdampak negatif pada karir dan akan berakibat negatif pula bila tidak dilakukan sesuatu terhadapnya. Niat untuk melepaskan diri dari cengkeraman glossophobia inilah yang kemudian mengantarkannya justru menjadi mentor public speaking. Apa rahasianya? Salah satunya adalah rutin mengajak komunikasi diri sendiri di depan kaca. Berlatih dan terus berlatih. Bagaimana mungkin?

------------------

Pada hakikatnya, public speaking sendiri adalah salah satu seni berkomunikasi untuk menyampaikan ide atau gagasan, barang, dan jasa di depan publik atau khalayak ramai. Seni komunikasi ini erat kaitannya dengan kemampuan mempengaruhi audiens atau mengedukasi pendengar terkait topik yang dibahas. Tujuannya adalah membuat pendengar atau lawan bicara memahami materi yang didiskusikan atau dipresentasikan dalam periode waktu tertentu. Urgensi dari penguasaan public speaking sendiri antara lain menggenjot performa di berbagai bidang kehidupan, sebagai salah satu cara self-branding yang membedakan value diri kita dengan orang lain, dan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan yang kita bawa kepada orang lain. 

Apakah seseorang yang jago public speaking itu murni karena bakat? Jawabannya tidak. Keahlian ini dapat diraih dengan intensitas praktik dan latihan. Seperti cerita mentorku di atas. Sayangnya, hal yang menghalangi seseorang untuk mengembangkan kemampuan public speaking-nya justru karena rasa gugup dan takut. Padahal seperti ulasanku sebelumnya, kemampuan komunikasi yang mumpuni justru akan menggerus banyak ketakutan-ketakutan dalam hidup kita.

Lalu bagaimana caranya untuk menjadi pembicara yang katakanlah ideal itu?

Setidaknya ada dua teknik public speaking yang dapat kita asah. Pertama dari sisi Verbal Communication dikenal dengan singkatan P-I-C-T-U-R-E yakni Pitch (ketinggian suara), Intonation (intonasi), Courtesy (kesopanan), Tone (nada), Understanding (pengertian), Rate (kecepatan), dan Enunciation (lafal ucapan). Kedua dari sisi Nonverbal Communication dikenal dengan singkatan P-E-O-P-L-E yakni Posture & gesture (postur dan gestur), Eye contact (kontak mata), Orientation (orientasi/ tujuan), Presentation (presentasi), Looks (penampilan), dan Expression of emotions (ekspresi).

Yang tidak kalah penting adalah menghayati 8 aturan emas atau golden rules dalam public speaking sebagai bekal. Aturan pertama adalah preparation (persiapan) seperti menyiapkan kerangka ide, membuat naskah, membuat paparan atau grafis, dan berlatih. Aturan kedua adalah opening (pembukaan) yakni bagaimana menarik perhatian audiens dalam waktu 1,5 menit dan memikirkan 200 kata pertama yang akan terucap sebagai grabber. Aturan ketiga adalah purpose (tujuan) yang dimulai dengan pertanyaan yang memposisikan pembicara pada role audiens, “Mengapa saya ada di sini? Apa yang ingin saya dapatkan sepulang dari sini?” Aturan keempat adalah structure (struktur) yaitu tentang bagaimana membangun ketertarikan, memberikan pemahaman, mencetak dampak positif, menjawab pertanyaan, hingga mengarahkan pada aksi. Aturan kelima adalah timing (durasi waktu) yang harus disiplin dengan rancangan agenda yang sudah dipersiapkan.

Aturan keenam adalah voice (suara) yaitu menyiapkan suara dengan melakukan pemanasan agar tone dan intonasinya tepat serta artikulasinya jelas. Aturan ketujuh yaitu notes (catatan) agar memudahkan dalam mengingat poin-poin materi. Aturan kedelapan adalah execution (eksekusi) yaitu saat menampilkan presentasi di hadapan audiens dengan memanajemen segala kerangka ide dari topik utama yang akan dipaparkan. Dalam beberapa kesempatan, unsur humor dapat disisipkan sebagai strategi membangun kedekatan dengan audiens. Akan tetapi penting diingat bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan nge-jokes dengan elegan, oleh karenanya bila tidak benar-benar siap sebaiknya cara ini dapat dihindari.

Penguasaan public speaking tentu akan bermanfaat dalam mengangkat nilai seseorang. Bagaimana tidak, public speaking telah merangkum semua teknik komunikasi yang diimplementasikan dalam keseharian. Mulai dari komunikasi lisan, tertulis, bahkan komunikasi batin kita kepada Tuhan karena pasti kita akan khusyuk berdoa sebelum tampil. Maka tidak ada lagi keraguan untuk tidak berlatih dan mengasah skill public speaking sebagai metode untuk menghilangkan ketakutan dalam berkomunikasi. Karena ketakutan itu pada dasarnya datang dari dalam diri kita dan dapat dieliminasi pula oleh niat dan komitmen kita.

Ingat, kesuksesan adalah 1% keberuntungan dan 99% ikhtiar dibalut doa. Mulai sekarang jangan takut bicara lagi ya!