Rabu, 01 Juni 2022

Apa Phobia Terbesarmu?

Artikel ini adalah tulisan untuk mengikuti lomba dari komunitas menulis binaan Om Budiman Hakim dan Kang Asep Herna, namanya "The Writers". Tulisan yang menang dapet hadiah uang yang lumayan gede, makanya aku tertarik ikutan. Sayangnya ga menang hehe. Tapi emang tulisan yang juara 1 keren banget, nyeritain pengalamannya waktu terpisah sama keluarganya pas hectic gempa Lombok. Bacanya ikutan deg-degan dan panik, bener-bener alur cerita yang bisa menyentuh kalbu pembaca. Lalu kemudian karya-karya terbaik sisanya dibukukan gitu. Dan punyaku....hmmm ya jelas enggaklah haha. Ternyata baru sadar kalo aku salah strategi. Tulisannya mostly tulisan gaya frees style berkonsep naratif, sedangkan tulisanku lebih ke arah esai. But it's okay, never stop learning. Oiya, tulisan ini juga aku post di website-nya The Writers disini

Saat kehamilanku sudah mendekati Hari Perkiraan Lahir (HPL), pikiranku mulai berkecamuk. Alih-alih merasa bahagia karena akan segera bertemu bayiku, aku justru dibayang-bayangi perasaan takut yang sulit dijelaskan. Banyak pertanyaan menggantung di ruang pikirku mulai dari apakah akan sesakit yang diceritakan orang-orang? Apakah prosesnya akan berlangsung lama dan menyengsarakan? Apakah aku dapat melaluinya dengan tenang…..dan selamat. Dan apakah-apakah lainnya yang menyita kewarasanku. Jika sudah demikian hanya satu jurus yang dapat mendamaikanku. Berkomunikasi. Pertama berkomunikasi dengan Tuhan sebagai penolongku. Kedua berkomunikasi dengan janin di dalam perutku untuk dapat kuajak bekerja sama. Sekejap, rasa takut itupun berangsur menghilang.

Pernah pula aku dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis. Di tengah situasi pandemi saat ini, logika mendorongku untuk terus waspada. Terlebih aku memiliki bayi dan kedua orang tua yang memiliki penyakit penyerta. Aku harus benar-benar awas dan berhati-hati untuk tidak tertular dan menularkan Covid-19 tanpa disadari. Dilema muncul ketika acapkali datang tawaran kumpul-kumpul teman atau keluarga di musim seperti ini. Mengkomunikasikan kepada mereka yang tidak semua memiliki pemahaman yang sama tentang bahaya penyakit ini adalah sebuah tantangan tersendiri. Belum lagi, sindiran keras yang justru terlontar jika berani menolak hadir. Di sisi lain, nuraniku berontak, tidak berani kugadaikan keselamatan orang-orang tersayangku dengan ketakutan pada cemoohan. Akhirnya aku bertekad untuk berani melawan rasa takut dan menolak kalah dengan rasa sungkan, tentu dengan jujur menyampaikan alasan untuk izin tidak ikut acara. Untung saja, mereka dapat memahami kondisiku dan tidak memaksakan kehendak lagi.

Dua pengalaman tersebut adalah kisah nyata bagaimana komunikasi menjadi strategi ampuh bagiku untuk melawan ketakutan. Ketakutan? Ya, bukankah ketakutan alias phobia juga bagian dari suatu permasalahan pribadi kita?   

Lalu, apa ketakutan terbesarmu?

Pada umumnya orang-orang akan menjawab hal-hal random yang diterima akal sebagai sesuatu yang memang menakutkan. Misalnya hewan buas, ketinggian, tempat sempit dan gelap, dan lain-lain. Tapi tahukah kamu apa ketakutan terbesar 3 dari 4 orang di dunia? Berdasarkan hasil survei yang diungkapkan oleh Christine Stuart dalam bukunya “Effective Speaking” diketahui bahwa ketakutan terbesar orang-orang yang disampling adalah berbicara di depan publik!

Survei ini meminta 3000 orang dewasa di Amerika untuk menuliskan 10 ketakutan terbesar dalam hidupnya. Phobia public speaking keluar di urutan teratas dengan persentase 41% disusul oleh phobia ketinggian dengan persentase 32%, phobia serangga dengan persentase 24%, phobia permasalahan finansial dengan persentase 23%, dan phobia kematian dengan persentase 19%. Bahkan faktanya, 5% dari populasi dunia atau ratusan juta orang berusia 18 hingga 24 tahun mengalami phobia public speaking setiap tahunnya, tanpa mengenal gender.

Aku menyaksikan sendiri seniorku di kantor yang dikenal jenaka dan memiliki interpersonal skill yang baik, mendadak pucat dan berkeringat dingin saat diminta presentasi di depan forum. Bahkan tangannya yang memegang kertas pun terus gemetar akibat menahan nervous yang teramat sangat. Kakinya tremor, pun intonasi suaranya terdengar bergetar seperti akan menangis. Dari pengakuan beliau, phobia public speaking telah lama dialami oleh beliau, bahkan sampai detik ini saat beliau telah menjadi pejabat. Padahal sebagai seorang pejabat fungsional, beliau dituntut untuk familiar dengan kemampuan komunikasi dan negosiasi, serta berbicara formal di depan khalayak. 

Ketakutan berbicara di depan publik ini disebut dengan Glossophobia. Glossophobia berasal dari bahasa Yunani glossa yang berarti lidah, dan phobos yang berarti ketakutan. Phobia ini dapat berkembang menjadi ketakutan sosial (social phobia) atau gangguang kecemasan sosial (social anxiety).    

Gejala umum yang dialami pengidap Glossophobia antara lain wajah memerah (blushing), berkeringat (sweating), gemetar (trembling), jantung berdegup kencang (palpitation), mual (nausea), gagap (stammering), dan berbicara dengan sangat cepat (rapid speech). Persis seperti gejala yang dialami seniorku tadi. Cerita berbeda, mentor kelas public speaking-ku pun pernah mengalami kondisi semacam ini sedari kecil. Dari cerita beliau, glossophobia versinya konon disebabkan karena vonis dokter. Akibat benturan kepala belakang yang dialami beliau saat kecil, dokter mendiagnosa bahwa terjadi permasalahan pada otak beliau yang menyebabkan kemungkinan gangguan bicara. Vonis dokter itu seolah tersugesti kuat dalam persepsi beliau. Akibatnya dari kecil hingga dewasa, beliau tumbuh dengan keyakinan bahwa beliau mengalami gagap bicara yang menyebabkan beliau takut untuk berbicara di depan umum.

Untungnya, beliau cepat tersadar dan bertekad untuk keluar dari ketakutan ini. Komitmen beliau dimulai dengan pemahaman bahwa phobia akan public speaking akan berdampak negatif pada karir dan akan berakibat negatif pula bila tidak dilakukan sesuatu terhadapnya. Niat untuk melepaskan diri dari cengkeraman glossophobia inilah yang kemudian mengantarkannya justru menjadi mentor public speaking. Apa rahasianya? Salah satunya adalah rutin mengajak komunikasi diri sendiri di depan kaca. Berlatih dan terus berlatih. Bagaimana mungkin?

------------------

Pada hakikatnya, public speaking sendiri adalah salah satu seni berkomunikasi untuk menyampaikan ide atau gagasan, barang, dan jasa di depan publik atau khalayak ramai. Seni komunikasi ini erat kaitannya dengan kemampuan mempengaruhi audiens atau mengedukasi pendengar terkait topik yang dibahas. Tujuannya adalah membuat pendengar atau lawan bicara memahami materi yang didiskusikan atau dipresentasikan dalam periode waktu tertentu. Urgensi dari penguasaan public speaking sendiri antara lain menggenjot performa di berbagai bidang kehidupan, sebagai salah satu cara self-branding yang membedakan value diri kita dengan orang lain, dan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan yang kita bawa kepada orang lain. 

Apakah seseorang yang jago public speaking itu murni karena bakat? Jawabannya tidak. Keahlian ini dapat diraih dengan intensitas praktik dan latihan. Seperti cerita mentorku di atas. Sayangnya, hal yang menghalangi seseorang untuk mengembangkan kemampuan public speaking-nya justru karena rasa gugup dan takut. Padahal seperti ulasanku sebelumnya, kemampuan komunikasi yang mumpuni justru akan menggerus banyak ketakutan-ketakutan dalam hidup kita.

Lalu bagaimana caranya untuk menjadi pembicara yang katakanlah ideal itu?

Setidaknya ada dua teknik public speaking yang dapat kita asah. Pertama dari sisi Verbal Communication dikenal dengan singkatan P-I-C-T-U-R-E yakni Pitch (ketinggian suara), Intonation (intonasi), Courtesy (kesopanan), Tone (nada), Understanding (pengertian), Rate (kecepatan), dan Enunciation (lafal ucapan). Kedua dari sisi Nonverbal Communication dikenal dengan singkatan P-E-O-P-L-E yakni Posture & gesture (postur dan gestur), Eye contact (kontak mata), Orientation (orientasi/ tujuan), Presentation (presentasi), Looks (penampilan), dan Expression of emotions (ekspresi).

Yang tidak kalah penting adalah menghayati 8 aturan emas atau golden rules dalam public speaking sebagai bekal. Aturan pertama adalah preparation (persiapan) seperti menyiapkan kerangka ide, membuat naskah, membuat paparan atau grafis, dan berlatih. Aturan kedua adalah opening (pembukaan) yakni bagaimana menarik perhatian audiens dalam waktu 1,5 menit dan memikirkan 200 kata pertama yang akan terucap sebagai grabber. Aturan ketiga adalah purpose (tujuan) yang dimulai dengan pertanyaan yang memposisikan pembicara pada role audiens, “Mengapa saya ada di sini? Apa yang ingin saya dapatkan sepulang dari sini?” Aturan keempat adalah structure (struktur) yaitu tentang bagaimana membangun ketertarikan, memberikan pemahaman, mencetak dampak positif, menjawab pertanyaan, hingga mengarahkan pada aksi. Aturan kelima adalah timing (durasi waktu) yang harus disiplin dengan rancangan agenda yang sudah dipersiapkan.

Aturan keenam adalah voice (suara) yaitu menyiapkan suara dengan melakukan pemanasan agar tone dan intonasinya tepat serta artikulasinya jelas. Aturan ketujuh yaitu notes (catatan) agar memudahkan dalam mengingat poin-poin materi. Aturan kedelapan adalah execution (eksekusi) yaitu saat menampilkan presentasi di hadapan audiens dengan memanajemen segala kerangka ide dari topik utama yang akan dipaparkan. Dalam beberapa kesempatan, unsur humor dapat disisipkan sebagai strategi membangun kedekatan dengan audiens. Akan tetapi penting diingat bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan nge-jokes dengan elegan, oleh karenanya bila tidak benar-benar siap sebaiknya cara ini dapat dihindari.

Penguasaan public speaking tentu akan bermanfaat dalam mengangkat nilai seseorang. Bagaimana tidak, public speaking telah merangkum semua teknik komunikasi yang diimplementasikan dalam keseharian. Mulai dari komunikasi lisan, tertulis, bahkan komunikasi batin kita kepada Tuhan karena pasti kita akan khusyuk berdoa sebelum tampil. Maka tidak ada lagi keraguan untuk tidak berlatih dan mengasah skill public speaking sebagai metode untuk menghilangkan ketakutan dalam berkomunikasi. Karena ketakutan itu pada dasarnya datang dari dalam diri kita dan dapat dieliminasi pula oleh niat dan komitmen kita.

Ingat, kesuksesan adalah 1% keberuntungan dan 99% ikhtiar dibalut doa. Mulai sekarang jangan takut bicara lagi ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar