Minggu, 20 Juni 2021

Obelix Hills Jogja, Se-Hype Itukah?

Obelix Hills tampaknya tengah gencar melakukan marketing. Berkali-kali postingan foto dan video tentang Obelix Hills bersliweran di explore Instagramku. Diunggah oleh akun-akun influencer besar di Jogja, tak ayal keinginan untuk mengunjungi lokasi wisata ini pun semakin membuncah. Beberapa kali pula teman-teman perantau yang mudik ke Jogja posting tentang wisata ini di Instagram story mereka. Maka tanpa ragu, di suatu sore yang hangat di masa cuti ini, saat aku sekeluarga bingung mau jalan-jalan kemana, akhirnya kita memutuskan untuk kesana. Lokasi rumahku ada di Jalan Pandega Marta, sekitaran Jalan Kaliurang km 5,6. Artinya, butuh kurang lebih 35-45 menit perjalanan jika kondisi jalanan tidak macet. Pas sekali, aku sekalian mau mengambil hasil swab antigen di Rumah Sakit Jogja Internasional Hospital (RS JIH), jadi searah ke timur.

Kami berangkat sekitar pukul 16.30 WIB dari rumah, sedikit terlambat memang, maklum bawa bayi jelang balita yang printilannya macam-macam. Tepat pukul 17.00 WIB kita otw dari RS JIH. Jalanan lumayan padat, yah Jogja kini memang macet tidak kenal hari ataupun waktu, ditambah menyetir Bapak harus agak lambat karena Narra, si boss kecil pasti banyak bertingkah di dalam mobil, nggak bisa anteng. Karena aku pikir lokasinya hanya di atas Tebing Breksi sedikit, maka tak masalah kami menempuh perjalanan agak jauh. Saat melewati Tebing Breksi dan Candi Ijo, Bapak mulai bertanya apakah masih jauh. Aku yang tidak fokus hanya melihat Google Map yang sebelah atas bukan teliti melihat pada map aslinya. Padahal petunjuk jarak di bagian atas itu hanya menunjukkan jarak untuk menuju belokan-belokan terdekat di depan, bukan menunjukkan jarak destinasi sesungguhnya. Alhasil aku cuma menjawab 500 meter lagi kok. 

Tetapi oh tetapi, jalanan yang makin berkelok, naik dan turun, tidak menunjukkan tanda-tanda sudah sampai. Bahkan saat jarak 500 meter sudah terlewati. Hanya tampak pemandangan pepohonan, ilalang, dan hutan bambu. Bapak yang mulai curiga dan bertanya lagi pun heran, "jarene kari 500 meter, kok isih adoh" (katanya tinggal 500 meter, kok masih jauh, ujarnya). Alhasil kutengok lebih teliti lagi dan ternyata masih 1,8 KM lagi. Ya ampun! hari makin sore, suasana makin gelap, dan Ibu di kursi belakang mulai  mengomel. "Nek ngerti nggowo bayi ki mau lak rasah adoh-adoh milih tekan kene barang" (kalau tau membawa bayi tu tadi ya jangan milih tempat yang jauh-jauh begini!, ungkapnya kesal). Untuk si boss kecil sedang tidur di pangkuan, kalau tidak aku harus menghadapi dobel kerepotan. Aku yang mencoba sabar hanya bisa terdiam. 

Rimbunan pepohonan di sekitar tampak menutupi sebagian jalanan beraspal yang sempit itu. Tak lama, tampak sejumlah pemuda berdiri di pinggir jalan, meminta sumbangan karena sudah mengarahkan dan mengatur jalan. Bapak bertanya dimana Obelix Hills dan dijawab masih 1 KM lagi. Mobil menelusuri jalanan yang tampak sepi dan horor. Jarang sekali rumah warga, hanya hutan dan bukit dari kejauhan. Tak lama, ada restaurant di pinggir jalan dengan lampu yang remang-remang. Aku lupa namanya, tapi bukan ini tempatnya. Kami tetap melanjutkan perjalanan. Ada mobil kuning yang membuntuti di belakang, tampaknya mau menuju lokasi yang sama. Dari jauh tampak matahari sudah mau kembali ke peraduan, warnanya oranye cantik sekali. Tandanya sunset sudah dipastikan lenyap saat kami sampai di lokasi tujuan. 

Saat Ibu sudah mengomel entah ronde ke berapa. Akhirnya kami sampai juga. Tampak tulisan Obelix Hill di kejauhan, dengan mobil-mobil yang berjajar berurutan bersiap untuk memasuki lokasi parkiran. Belum lagi motor-motor. Ya ampun lagi!! banyak kaliii orang-orang yang mau plesiran disana, padahal hari itu Selasa dan bukan hari libur/ tanggal merah. Mobil harus antre bergantian karena untuk menuju lokasi parkir harus menanjak di jalanan kapur baru yang licin. Mungkin untuk aspek safety, jadi lumayan antre cukup lama disitu saja. Ibu lagi-lagi menyerocos tentang ramainya tempat itu, dan mengajak untuk pulang saja. Untung Bapak tidak mudah terpengaruh dan enggan menyerah. Kami tetap akan parkir dan melihat situasi.

Sedikit cerita sedikit, memang tayangan dan postingan tentang tempat ini viral sekali. Para influencer itu mampu mengcapture sudut-sudut indah dengan kreativitas mereka sehingga tampak sangat instagramable. Obelix Hill mengklaim punya lebih dari 30 spot foto selfie. Ditambah warna-warni beanbag yang membuat tempat nongkrong menonton sunset ini tampak semarak. Mari kita buktikan!

Lokasi parkirnya luas sekali, karena berada di perbukitan yang berundak, tempat parkirnya pun ber-level. Ada yang di atas dan di bawah. Kami hampir saja tidak kebagian parkir karena semua penuh. Sampai akhirnya ada satu space kosong di dekat tebing batu tidak jauh dari pintu masuk. Ibu, Bapak, dan Narra nunggu di mobil untuk keamanan (secara ruameeee bund, takut boss kecil ga bisa prokes), sementara aku masuk sama Mak ARTku memutuskan masuk untuk sekadar mengambil foto. Jalan kaki sedikit menuju pintu masuk, ada standing letter besar bertuliskan OBELIX HILL. Kami mencuci tangan (ada sejumlah wastafel di depan loket tiket)  lalu dicek suhunya. Lantas aku beli tiket masuk seharga 15ribu/orang (weekdays) kalo weekend 20ribu/orang.

Bicara soal prokes, gimana ya kalo penerapannya sendiri masih kurang sesuai. Entah darimana sejarah asalnya cek suhu ditembak di punggung tangan, ya jelas nggak bakal valid lah bambang. Satu lagi, kalo misal suhu menunjukkan angka di bawah 35 derajat celcius. Itu patut dicurigai emang cara ngukurnya yang keliru atau alatnya yang udah nggak standar lagi. Masa aku pernah diukur suhunya 32 derajat celcius, mana ada suhu manusia sedingin itu woe, emangnya mummy. Lagian, ngukur suhu itu aku rasa udah kurang relevan dengan perkembangan pandemi Covid-19 ini bund. Secara, mana ada orang demam jalan-jalan, tapi kalo orang pilek or batuk bahkan anosmia masih ada mungkinnya. Itulah kenapa buat pengelola tempat wisata atau kantor atau apalah, sebaiknya petugas yang ngecek suhu itu harus diberikan pengetahuan cara baca suhu yang tepat, pemakaian alat yang tepat, bahkan screening kesehatan sederhana.

Back to this matter, aku minta bapaknya nembak suhu di jidatku. Pas itu jujur aku masih ada sisa pilek sedikit bund, tapi alhamdulillah flu biasa karena hasil swab antigenku negatif. Dan aku pastikan aku sangat menjaga jarak, pake masker KN-95, nggak pernah pegang apapun, desinfeksi sendiri semua barang-barang pribadi yang aku pegang dan selama di lokasi sama sekali nggak buka masker even buat foto. Takut bund.

Standing Letter depan pintu masuk

Impresi awal setelah masuk, suasana enak outdoor dengan angin sembribit jelang Maghrib. Tapi orangnya ramai kaliii bundd nggak nahan. Di satu sisi ini adalah tanda positif geliat wisata Jogja yang mulai pulih, di sisi lain ini alarm juga buat pengelola dan pemerintah setempat untuk bisa me-manage prokes dengan optimal. Jangan sampai lokasi ini (amit-amit) justru malah jadi klaster penularan Covid-19. Apalagi yang sangat disayangkan, banyak bangeeet pengunjung yang nggak menerapkan prokes dengan ketat. Yang pualiing sering aku jumpai adalah tidak memakai masker, atau maskernya cuman digantunging doang, atau maskerin dagu. Biasanya mereka abis foto lepas masker dan ga dipake lagi maskernya. Plis banget nggak ada pengawasan ketat dari pengelola soal ini. Padahal kita kan sama-sama pengen entertained dan tetep sehat sepulang ke rumah. Tolong ini bisa ditingkatkan lagi buat pengelola, misalnya rajin-rajin kasih reminder lewat pengeras suara atau ada petugas yang secara tegas berkeliling dan mengingatkan prokes. Untungnya disini

Untuk lokasi sendiri menurut pendapat personalku kurang balita-friendly dan elderly-friendly. Untung aja Narra sama Ibuku gaikutan, bisa rempong maxx kalo iya. Jadi tipenya banyak anak tangga menurun gitu kalau mau ke lokasi. Agak effort buat naiknya lagi kalo gendong bayi or buat orang yang sepuh. 









Banyak batu-batu besar yang dibiarkan menjadi ornamen dekoratif di lokasi ini. Disamping banyak tempat yang mereka bilang spot selfie. Sebenernya aku sendiri bukan penggemar wisata selfie, karena umumnya wisata selfie itu sangat komersil, kurang alami, dan kurang banyak atraksi yang bisa disajikan selain pemandangan (misalnya kurang ada kegiatan/aktivitas yang bisa dilakukan selain cuman foto). Konsep design exterior-nya disini sebenernya agak campur-campur, ada spot yang kayak Latino Mexican gitu, ada yang kayak bohemian, ada yang Indonesian (karena banyak batu). Yah begitulah, emang sepinter itu para influencer mengemas ini jadi tampak wow di foto. Seperti biasa di awal masuk langsung ada suguhan spot selfie anjungan teras kaca ala-ala gitu, yang ada kontes berhadiahnya kalo foto selfie disitu.



Kalo discussant mau nyari inspirasi foto model begimana, silahkan bisa cek di instagram Obelix Hills atau foto yang di-tag ke mereka di Instagram. Setelah kucermati mendalam, pada hakikatnya ini tu lebih dominan tempat makannya. Karena tampak ada beberapa area meja dan kursi tempat makan disini. Untuk resto/cafenya jual menu apa, jujur aku nggak bisa share karena aku nggak makan or beli minum. Discussant bisa cek sendiri di postingan mereka di Instagram. Yang jelas area makannya super penuh dan bisa dipastikan sangat minim physical distancing. Syukurnya, lokasi ini adalah area outdoor dengan sirkulasi udara maksimal. Semoga bisa meminimalisasi droplets yang terbang berkeliaran saat pengunjung buka masker, makan, dan ngobrol-ngobrol santuy di saat meja sebelah yang penuh adalah pengunjung yang jelas-jelas beda rumah bahkan beda daerah. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan, Aamiin.

Area makannya sendiri ada di beberapa level, termasuk di bawah tenda besar ini.













Despite the adrenaline feelings that covered my heart, aku cukup terhibur dengan kunjunganku kesini. Lokasi ini menyuguhkan pemandangan city skyline dan lights yang oke banget, makanya lebih enak berkunjung kesini antara sore sampai malam hari supaya nggak panas. Selain itu banyak tempat duduk dan lesehan juga serta tempat leyeh-leyeh macem beanbag gitu. Saranku sebelum dipakai, plis sanitize dulu dengan disemprot disinfektan. Rajin-rajin pake handsanitizer kalo abis megang apapun. Nggak usah buka masker kalo kondisi rame, buka bentar buat foto bisa kalo emang jauh dari orang. Aku aja parno tiap ada orang lewat di deketku sambil ngobrol padahal ga pake masker. Auto semprot desinfektan sebadan akunya. Nanti di akhir aku bakal share starter kit buat berkunjung kesini. Oiya musholla dan toilet juga ada, jadi gausah khawatir, tapi aku belum cek ya bersih enggaknya karena nggak masuk. Better buat sholat di luar lokasi ini sih kalo emang ruameee. 


















Aku disini nggak lebih dari 30 menit aja karena emang cuman foto-foto doang, itupun buru-buru dan serba cepet. Mak ART aku komando buat ngikutin pergerakanku yang sat set, sekaligus motoin. Soalnya ada anak dan ortu yang nunggu di mobil, takut kelamaan. Eh ternyata waktu udah pulang ke rumah, aku liat ada junior SMAku yang kesini juga dan foto-foto ala-ala. Anaknya emang cakep sih jadi memper aja mau foto begimana, nggak kaya uwe dah emak-emak gini wkwkwk. Ada spot foto yang kaya Mexican gitu yang bangunan kotak pink, trus ada spot jaring-jaring kaya buat tiduran di atas laut gitu kalo di resort Maldives, sama spot ayunan. Yah kapan-kapan lagi deh dicoba kalo pas suami pulang kampung (dan nggak serame ini). 

So, buat discussant yang mau kesini berikut starter kit yang kalian bisa bawa:

1. Baju ala anak-anak Tiktok yang kece buat foto-foto

2. Topi kalo kalian dateng pagi sampe siang (jangan lupa pake sunscreen)

3. Pake sepatu atau sendal yang nyaman buat hike, tidak disarankan pake heels

4. Bawa kamera, handphone, dan uang buat beli tiket atau beli makan

5. Bawa alat sholat sendiri

6. Bawa hand sanitizer, semprotan desinfektan, tisu kering dan basah, dan pake masker medis

7. Bawa payung buat jaga-jaga kalo tiba-tiba ujan

Oiya pastikan juga drivernya adalah berpengalaman dan andal di berbagai situasi dan kondisi jalanan ya. Sebagai penutup, mau kasih bonus foto-foto selfieku ya bund wkwkwk. Semua foto aku ambil pakai HP jadulku Samsung S7, maaf kalo kurang maxx. Oiya, aku juga udah tulis ulasannya di Google Local Guide aku, Ika Hapsari, jangan lupa di-follow yang bund..udah level  nih.







Outfit aku untuk tunik dari brand Moela, bahannya katun rayon jadi adem buat aktivitas. Tas anyaman decoupage ini hadiah kenang-kenangan dari istri Pak Kakanwilku dulu. Jilbab voal plain aku beli di shopee tapi lupa nama tokonya. Sandal jelly gladiator beli dari Mbak Sinta. Simple-simple aja bund fashion mamak kini, apalagi badan udah mekar begini mau pake yang cuttingan aneh-aneh udah nggak pede bund. Hiks. Ini nanti bakal aku up di postingan lain ya, soal insecurity aku wkwkwkwk. Bye!