Senin, 15 November 2021

Menilik Insentif Pajak dari Perspektif Gender

Artikel ini adalah satu karya untuk lomba artikel pajak DDTC News tahun 2020 yang berhasil lolos seleksi awal dan tayang di website, beberapa minggu bertengger di artikel populer, dishare lebih dari 30ribu kali, tetapi belum berhasil menjadi juara kala itu. Silakan artikelnya bisa disimak disini

RESESI, pemutusan hubungan kerja, dan kurangnya perlindungan sosial adalah penyebab melebarnya kesenjangan dari perspektif gender. United Nation Development Programme menyebut ada 118 perempuan miskin dari 100 laki-laki miskin di dunia pada 2021 dan akan memburuk pada 2030.

Kecenderungan pelaku usaha perempuan secara global untuk menutup usahanya pada masa krisis 5,9% lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sebanyak 740 juta perempuan di dunia di sektor informal juga menunjukkan penurunan penghasilan hingga 60% di masa pandemi Covid-19.

Women Development Index Indonesia sebenarnya terus membaik. Pada 2019 nilainya 69,18 dari sebelumnya 68,63. Jumlah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) perempuan di Indonesia mencapai 14,3 juta orang pada 2018 dengan kontribusi 9,1% terhadap produk domestik bruto.

Data itu menjadi sinyal pentingnya pemberdayaan perempuan dalam menggerakkan ekonomi di tataran mikro, terlebih pada situasi krisis. Urgensinya adalah untuk meminimalisasi kesenjangan dari perspektif gender, mengurangi indeks ketidaksetaraan gender, dan menjaga UMKM tetap bertahan.

Merespons situasi ini, Gender Innovation Lab World Bank melakukan survei kepada 26.000 sampel pelaku UMKM dari berbagai negara. Hasilnya menyimpulkan kebijakan yang paling dibutuhkan untuk menyelamatkan UMKM perempuan dari krisis adalah tax deferral atau penangguhan pajak.

Riset ini merepresentasikan fungsi pajak regulerend, yakni pajak sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi (Mardiasmo, 2003). Kebijakan inilah yang akhirnya sejalan dengan stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah untuk UMKM.

Insentif pajak tersebut berupa pajak penghasilan (PPh) final UMKM ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp2,4 triliun. Dengan insentif ini, UMKM dibebaskan dari pembayaran alias cuti bayar hingga Desember 2020. Relaksasi ini diharapkan membantu likuiditas UMKM bertahan melalui krisis.

Insentif ini tertuang dalam PMK-44/PMK.03/2020. Insentif ini tidak muncul dalam PMK sebelumnya, PMK-23/PMK.03/2020. PMK-44/2020 kini diperbarui menjadi PMK-86/PMK.03/2020. Periode insentif yang awalnya April-September 2020 diperpanjang menjadi April-Desember 2020.

Tujuan ekstensi waktu ini agar dapat menjangkau lebih banyak wajib pajak sehingga dampak insentif lebih terasa. Terbaru, PMK-86/ 2020 diubah menjadi PMK-110/PMK.03/2020, tetapi tidak ada perbedaan khusus untuk klausul PPh UMKM DTP dibandingkan dengan aturan sebelumnya.

Gap Besar
HINGGA 27 Mei 2020 jumlah pemohon insentif PPh final UMKM DTP mencapai 183.595 wajib pajak. Sebanyak 186.537 wajib pajak telah disetujui dan wajib melaporkan realisasi insentifnya. Namun, jumlah wajib pajak UMKM yang rutin membayar PPh final UMKM pada 2019 sebesar 2,3 juta.

Itu berarti, masih terdapat gap yang besar antara wajib pajak yang sudah dan belum memanfaatkan insentif. Kesenjangan ini harus diminimalisasi, seiring dengan upaya meminimalisasi kesenjangan dari perspektif gender yang semakin melebar akibat pandemi.

Ditjen Pajak (DJP) diharapkan mendorong partisipasi wajib pajak UMKM perempuan dengan gencar melakukan edukasi dan publikasi serta menjalin komunikasi dengan berbagai asosiasi, komunitas, kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah.

Pendekatan kepada UMKM binaan Rumah Kreatif BUMN dan lembaga swadaya masyarakat penting dilakukan. Pendampingan dan pembinaan perempuan pemilik UMKM juga dapat terus ditingkatkan melalui program Business Development Services (BDS) DJP.

Tidak menutup kemungkinan, melalui edukasi tentang insentif pajak UMKM dalam program BDS bisa menarik UMKM yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak mendaftar menjadi wajib pajak. Hal ini juga dapat mendorong wajib pajak UMKM terdaftar untuk memanfaatkan segera insentif.

Dari sisi permintaan, dukungan masyarakat untuk ekonomi arus bawah adalah dengan membeli barang produksi UMKM dalam negeri. Kolaborasi pemerintah, DJP, asosiasi dan berbagai lembaga sangat penting untuk mendukung pelaku UMKM perempuan selamat dari krisis akibat pandemi ini.

Selasa, 27 Juli 2021

Perluasan Tax Base, Peluang dan Tantangan di Era Reformasi dan Masa Pandemi

Artikel ini merupakan artikel kedua yang aku submit untuk lomba menulis artikel pajak DDTC tahun 2020 tetapi belum berhasil lolos kurasi untuk tayang di website sebagai salah satu kandidat pemenang            

        Perluasan basis data perpajakan atau tax base menjadi tagline optimalisasi penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2020. Hal ini selaras dengan rencana strategis (renstra) DJP 2020-2024 yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-389/PJ/2020. Sayangnya, merebaknya wabah Corona Virus Disease (Covid-19) global telah membalikkan arah ekonomi secara drastis dari pertumbuhan menjadi kontraksi bahkan resesi. DJP dituntut untuk adaptif dan agile dengan perubahan kritikal yang terjadi, khususnya merespon perlambatan ekonomi domestik yang berdampak pada penurunan penerimaan negara.

Di masa pandemi ini, potensi yang dimiliki DJP adalah pesatnya pertumbuhan e-commerce seiring dengan pesatnya transaksi perdagangan secara daring. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Sosial Demografi Dampak Covid-19 Tahun 2020, terjadi peningkatan aktivitas belanja online  sebesar 42% oleh responden serta peningkatan penjualan produk di marketplace sebesar 20% dibandingkan baseline sebelum pandemi. Kendati demikian, tantangan juga harus dihadapi DJP dengan belum tersedianya basis data transaksi digital yang valid dan reliable. Dengan bergulirnya reformasi perpajakan jilid III pada tubuh DJP, diharapkan perbaikan dan penyempurnaan berbagai aspek seperti organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan regulasi dapat terus diakselerasi. Reformasi pajak dalam  bentuk kebijakan (policy) dan administrasi (administration) diharapkan dapat meningkatkan basis data perpajakan yang bermuara pada peningkatan penerimaan pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Di sisi lain, beberapa negara OECD justru menunda pengimplementasian reformasi pajak. Penundaan ini diantaranya terkait implementasi e-filing, pengenalan pajak baru, dan atau perubahan pajak berjalan. Italia misalnya yang menunda pengaplikasian pelaporan penjualan harian oleh pedagang retail secara elektronik sampai tahun depan. Sebaliknya, beberapa negara malahan mengimplementasikan pengenaan pajak baru sebagai salah satu upaya pendanaan untuk penanggulangan dampak Covid-19. Sebut saja Indonesia yang mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital yang dijual oleh penyedia jasa luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan di Indonesia (OECD journal “Tax Policy Reform 2020”). Terkait perlakuan pajak kegiatan Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PSME) ini, beleid telah ditetapkan melalui UU Nomor 2 tahun 2020. Aturan pelaksanaannya tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-48/PMK.03/2020 dan kebijakan PSME resmi berlaku sejak 1 Juli 2020. Selain sebagai usaha penggalian potensi pajak, kebijakan ini penting sebagai perwujudan keadilan dalam pemungutan pajak.

                Misi awal DJP untuk mengawal penerimaan pajak seoptimal mungkin menjadi cukup dilematis ketika dihadapkan dengan kewajiban untuk memperluas pemanfaatan insentif perpajakan dalam rangka penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Fasilitas pajak yang dikucurkan pemerintah melalui realokasi APBN diharapkan dapat menggenjot perekonomian di sisi supply dan demand. Padahal, penerimaan pajak tak kalah penting untuk mengisi pos penerimaan APBN di situasi krisis ini. Menjawab ini,penting untuk digarisbawahi bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan unprecedented situation yang membutuhkan fokus tidak hanya pada memaksimalkan penerimaan pajak, melainkan menyelamatkan ekonomi agar tetap survive. Pande Putu Oka K., Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam Webinar Tax Challenges and Reforms to Finance the COVID-19 Recovery and Beyond pada 1 Oktober 2020 menyatakan bahwa kepatuhan pajak, tata kelola pemerintahan yang baik, dan keadilan adalah area yang harus menjadi perhatian. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat basis data perpajakan.

Perluasan Tax Base Berbasis Penguasaan Wilayah

        Bicara perluasan basis data, sesungguhnya bukan hal baru bagi DJP. Effort yang menjadi bagian dari kegiatan ekstensifikasi ini telah familiar diwujudkan melalui berbagai program seperti Sensus Pajak Nasional (SPN), canvassing, dan yang masih berjalan saat ini adalah geotagging. Sementara itu, inisiatif strategis yang telah dicanangkan DJP pada tahun ini adalah perluasan tax base dalam rangka pengamanan penerimaan pajak. Ditumpukan pada dua klasifikasi kegiatan yaitu pengawasan wajib pajak strategis dan pengawasan berbasis penguasaan kewilayahan. Sejalan dengan itu, Dirjen Pajak telah meneken KEP-75/PJ/2020 terkait perubahan tugas dan fungsi (tusi) KPP Pratama yang resmi berlaku sejak awal Maret 2020.

      Perubahan tusi tersebut merupakan salah satu perwujudan dari reformasi pajak jilid III khususnya pembenahan pilar pertama organisasi, pilar kedua SDM dan pilar keempat proses bisnis. Perubahan tusi tersebut diharapkan mampu membantu DJP dalam menangani wajib pajak dengan lebih adil dan transparan serta melakukan manajemen sumber daya menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Pada akhirnya akan mewujudkan paradigma kepatuhan yang baru bagi DJP yaitu kepatuhan yang berkelanjutan (SE-24/PJ/2019). Muaranya juga tentu pada tax base.

          Di masa pandemi ini, banyak terobosan yang dapat diimplementasikan ihwal perluasan tax base. Salah satu contoh keberhasilan adalah inovasi oleh Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I. Melalui pendekatan digital/ teknologi informasi, Kanwil DJP Jateng I menciptakan aplikasi penunjang perluasan tax base berjuluk Pengayaan Data Jateng I (PANDJI). Aplikasi ini memanfaatkan data unit bisnis yang tersedia dari Google Map serta data geotagging ECTag yang disandingkan dengan Masterfile DJP. Apabila berdasarkan observasi terdapat celah atau gap, petugas pajak dapat melengkapi datanya melalui aplikasi. Aplikasi ini sangat user friendly dan mudah diakses melalui gawai yang terkoneksi internet.

Sebagaimana kita ketahui aktivitas gowes tengah menjadi primadona di masa pandemi ini. Kanwil DJP Jateng I pun memiliki inovasi kegiatan yakni pengenalan sinyal ekonomi atau point of interest (poi)  melalui kegiatan bersepeda yang diberi nama gowes bysikil poi. Poi yang dikenali kemudian direkam melalui aplikasi PANDJI. Apabila kegiatan luar ruang terkendala, masih ada satu inovasi yang dapat dilakukan di belakang meja. Kegiatan tersebut adalah penilaian suatu objek pajak dari jarak jauh untuk menggali potensi pajaknya yang dijuluki remote sensing valuation.

Kedua contoh inovasi ini merepresentasikan keberhasilan implementasi flexible working space sebagai bentuk adaptasi kinerja dalam merespon pandemi Covid-19. Budaya kinerja yang diperkenalkan Kanwil DJP Jateng I ini juga merepresentasikan penguatan lima pilar reformasi pajak dalam ranah mikro yang dapat berdampak makro bagi DJP dalam hal peningkatan kuantitas dan kualitas tax base.

Sabtu, 24 Juli 2021

Nggak Kapok Ikutan Lomba Menulis Artikel Walopun Traumatis

 Hai discussant,

Sebagaimana marwah awal blog ini sebagai tempat membuang emosi negatif, maka aku nggak punya ekspektasi lebih terhadap jumlah viewers atau pembaca blog ini. Ya gimana, isinya emang campur-campur banget. But, still one day pengen banget bisa jadi blogger yang kaffah, yang memberikan influence positif dan bermanfaat buat discussant semua.

Hari ini aku tiba-tiba keinget, satu artikelku yang "terbuang" sama panitia lomba menulis artikel perpajakan yang aku ikutin. Jadi ceritanya peserta bebas mengirim artikel, boleh lebih dari satu. Maka aku kirim 2 artikel, yang 1 berhasil tayang di website mereka sebagai salah satu semifinalis lah ceritanya. Dan 1 lagi enggak lolos seleksi, makanya aku mau post disini aja buat kenang-kenangan. Lombanya udah lama, sekitar September 2020. Konon artikel yang masuk ada 400an lebih, sementara yang berhasil tayang hanya 90an. Dari 90an itu, dilombakan lagi untuk diambil pemenangnya, banyak banget slot buat menang, ada belasan. Kenapa? karena ada buanyaaak banget slot buat pemenang juara harapan. Dan dari belasan itu, aku nggak place satu pun. Hiks. Sedih dan malu banget bund jujur.

Jadi cerita awalnya dari substansi, diksi, dll itu sebagai aspek penilaian, ada 1 tambahan lagi yaitu banyaknya hits dan share. Porsinya mayan lho 20%. Aku emang anaknya lumayan ambis, tapi tahu diri malah cenderung ga percaya diri. Jadi kalo urusan share-share gitu aduh bukan aku banget deh, apalagi dari grup ke grup. Malu asli. Etapi kemudian ada salah seorang mantan atasanku yang selalu supportive dan berhati malaikat, bener-bener bersemangat buat share dan ajak banyak orang buat baca dan like artikel aku.

Sampe itu link tersebar luaaaassss dari grup ke grup di berbagai kantor di instansi aku. Banyak banget kawan lama yang menyapa di WA buat menyemangati. Bahkan karena andil salah seorang mantan atasanku yang lain, sampe ke grup angkatan Pak Dirjen dan bapak yang notabene sudah keluar dari institusi aku dan kemudian mendirikan learning center itu. Ya yang punya web yang ngadain lomba artikel itu. Beliau pun udah like katanya hahahah.

Ada juga mantan temen sekantor aku yang super duper militan, nggak tau begimane caranya. Bisa-bisanya dia tiap hari bantuin ngelike sampe bisa ribuan. Parah siiiihhh. Endingnya artikel aku adalah salah satu yang hit dan sharenya tertinggi. Bahkan sempat beberapa hari naik dan bertengger di klasemen artikel terpopuler.

Karena lomba ini lumayan prestisius, ditambah hadiahnya gede (total puluhan juta). Juara 1 nya aja hadiahnya sampe 10 juta. Bayangin modal nulis doang (plus riset) bisa dapet 10 juta. HUHUHU. Waktu itu aku nggak target sejauh itu, tapi bisa dapet di juara harapan terakhir aja udah bersyukur bangeeettttt. Tapi nasib berkata lain.

Usut punya usut, dari 90an artikel tayang itu...karena tayangnya berurutan, nggak langsung barengan dalam 1 waktu, akhirnya ketauan deh bahwa ternyata banyak banget peserta yang dari institusiku juga. Waktu itu emang artikelku tayang lumayan awal, alhasil waktu buat nyari dukungan pun lebih panjang (total tayang sampe pengumuman pemenang sekitar 1 bulan).

Oh ya, long story short, ternyata kawan-kawan seinstitusi yang ikutan itu pun udah bener-bener para mahadewa penulisan deh. Banyak banget senior-senior yang jam terbang pengalaman kerja n pengalaman nulisnya tinggi. Mereka senyap-senyap, ga banyak cari-cari dukungan massa, eh taunya 2 diantaranya place di 3 besar. Bahkan juara 1 nya adalah senior angkatan aku dulu di STAN yang emang sebelumnya dinas di direktorat yang berkaitan dengan kehumasan dan penulisan gitu.

Yah, emang she deserves the prize kok. Tulisannya sangat relate dan relevan dengan kondisi sekarang, hot topic, risetnya dalem, dan diksinya bagus. Karena semakin aku nggak paham, artinya emang semakin tinggi ukuran kualitas artikel itu hehehehe. Alias artikel yang buat aku artikel kahyangan, sedangkan aku di bumi. Maklum ilmu masih cetek, menulis hanya bermodal keyakinan bahwa pembaca awam soal pajak sehingga aku harus menjelaskan dengan cara sederhana yang mudah dimengerti. Aku udah set target pembacaku dan bermain di lingkungan itu. Terinspirasi dari Bu SMI yang selalu humble dalam bertutur kata, bahasa mudah dipahami meskipun beliau expert dan bisa keluarkan istilah-istilah yang tingkat tinggi. She knows siapa lawan bicaranya. Kembali ke topik awal, intinya aku mengakui yang juara itu layak. Hanya saja sedikit belum terima kalo aku ga bisa place. Hahahahaha tetep.

Setelah pengumuman yang pahit itu, yang awalnya aku masih ada yakin-yakin dikit bisa menang, aku lumayan down. Soalnya lebih ke arah aku mengecewakan mereka yang udah banyak support aku. Sampe semilitan itu bantuin like sampe belasan ribu (kenapa panitia nggak mempertimbangkan aspek ini ujungnya). Ya akhirnya berusaha buat ikhlas dan healing dengan nggak buka-buka sosmed dulu. Jujur, aku ikutan nggak ngejar hadiahnya tapi lebih kepada unlock new accomplishment aja.

Akhirnya di tahun 2021 ini website itu ngadain lomba lagi. Awalnya aku berusaha buat nggak take too much concern karena kebetulan aku padat kegiatan juga. Tapi endingnya entah kenapa semesta mengarahkan aku untuk lagi-lagi merasa resah kalo enggak ikutan. Rasanya ada sesuatu yang kosong. Karena sejak dulu aku selalu merasa bahwa lebih baik kalah daripada nggak nyoba. Padahal kalo kalah aku belom bisa mengelola emosiku juga sih, masih seperti ika yang sama kaya jaman TK, SD, SMP, SMA dulu. Ngga mau kalah.

Pernah peer aku di kantor lama bilang kalo aku harus ngerem, jangan terlalu ambis untuk selalu mengejar sesuatu. Tapi kemudian aku berkontemplasi dan merasa bahwa inilah passion yang membuat hati dan pikiranku alive. Aku ya gini, nggak bisa disamain casenya sama orang lain. Aku terbiasa dari jaman sekolah tumbuh dalam lingkungan kompetisi soalnya. Dan saat ikut lomba-lomba itu, aku selalu bergairah, aku happy, ngga beban. Tapi ya itu tadi kalo kalah nangis. WKWKKWKWK.

Setelah aku unfol semua sosmed yang related sama lomba tahun lalu itu, akhirnya aku follow lagi karena aku ikutan lagi. Sekarang aku lebih los aja, menulis tanpa beban, hanya mengutarakan ide-ideku yang kadang kelewat visioner. Karena lomba seperti ini sifatnya subjektif banget, aku hanya berharap tulisanku disukai juri, at least menarik minat mereka. Jika tidak tak apa, nanti akan berujung lagi di blog ini kan? Nggak ada yang sia-sia kok.

Untuk artikel yang tayang di web itu bisa dibaca disini: Lomba Artikel Perpajakan. Oh ya, sampe lupa, artikelku yang terbuang itu aku post di postingan berikutnya ya! Makasih udah baca curhatan nggak penting ini dear myself in the future wkwkwkw. Iya, aku yang baca ulang tulisanku sendiri kok seringnya wkwkwkw.  

Tambahan foto-foto pemanis jaman ikut pelatihan menulis.


Pelatihan dari Kanwil DJP Jawa Tengah I dan II di Solo tahun 2018

Pelatihan dari Direktorat P2 Humas DJP di Bogor tahun 2018 terkait Reformasi Pajak


Pelatihan dari Kanwil DJP Jawa Tengah I dan II di Solo tahun 2019


Pelatihan dari Direktorat P2 Humas DJP tahun 2021 tentang Penyusunan Buku Konten Berita dan Artikel Pajak


Minggu, 20 Juni 2021

Obelix Hills Jogja, Se-Hype Itukah?

Obelix Hills tampaknya tengah gencar melakukan marketing. Berkali-kali postingan foto dan video tentang Obelix Hills bersliweran di explore Instagramku. Diunggah oleh akun-akun influencer besar di Jogja, tak ayal keinginan untuk mengunjungi lokasi wisata ini pun semakin membuncah. Beberapa kali pula teman-teman perantau yang mudik ke Jogja posting tentang wisata ini di Instagram story mereka. Maka tanpa ragu, di suatu sore yang hangat di masa cuti ini, saat aku sekeluarga bingung mau jalan-jalan kemana, akhirnya kita memutuskan untuk kesana. Lokasi rumahku ada di Jalan Pandega Marta, sekitaran Jalan Kaliurang km 5,6. Artinya, butuh kurang lebih 35-45 menit perjalanan jika kondisi jalanan tidak macet. Pas sekali, aku sekalian mau mengambil hasil swab antigen di Rumah Sakit Jogja Internasional Hospital (RS JIH), jadi searah ke timur.

Kami berangkat sekitar pukul 16.30 WIB dari rumah, sedikit terlambat memang, maklum bawa bayi jelang balita yang printilannya macam-macam. Tepat pukul 17.00 WIB kita otw dari RS JIH. Jalanan lumayan padat, yah Jogja kini memang macet tidak kenal hari ataupun waktu, ditambah menyetir Bapak harus agak lambat karena Narra, si boss kecil pasti banyak bertingkah di dalam mobil, nggak bisa anteng. Karena aku pikir lokasinya hanya di atas Tebing Breksi sedikit, maka tak masalah kami menempuh perjalanan agak jauh. Saat melewati Tebing Breksi dan Candi Ijo, Bapak mulai bertanya apakah masih jauh. Aku yang tidak fokus hanya melihat Google Map yang sebelah atas bukan teliti melihat pada map aslinya. Padahal petunjuk jarak di bagian atas itu hanya menunjukkan jarak untuk menuju belokan-belokan terdekat di depan, bukan menunjukkan jarak destinasi sesungguhnya. Alhasil aku cuma menjawab 500 meter lagi kok. 

Tetapi oh tetapi, jalanan yang makin berkelok, naik dan turun, tidak menunjukkan tanda-tanda sudah sampai. Bahkan saat jarak 500 meter sudah terlewati. Hanya tampak pemandangan pepohonan, ilalang, dan hutan bambu. Bapak yang mulai curiga dan bertanya lagi pun heran, "jarene kari 500 meter, kok isih adoh" (katanya tinggal 500 meter, kok masih jauh, ujarnya). Alhasil kutengok lebih teliti lagi dan ternyata masih 1,8 KM lagi. Ya ampun! hari makin sore, suasana makin gelap, dan Ibu di kursi belakang mulai  mengomel. "Nek ngerti nggowo bayi ki mau lak rasah adoh-adoh milih tekan kene barang" (kalau tau membawa bayi tu tadi ya jangan milih tempat yang jauh-jauh begini!, ungkapnya kesal). Untuk si boss kecil sedang tidur di pangkuan, kalau tidak aku harus menghadapi dobel kerepotan. Aku yang mencoba sabar hanya bisa terdiam. 

Rimbunan pepohonan di sekitar tampak menutupi sebagian jalanan beraspal yang sempit itu. Tak lama, tampak sejumlah pemuda berdiri di pinggir jalan, meminta sumbangan karena sudah mengarahkan dan mengatur jalan. Bapak bertanya dimana Obelix Hills dan dijawab masih 1 KM lagi. Mobil menelusuri jalanan yang tampak sepi dan horor. Jarang sekali rumah warga, hanya hutan dan bukit dari kejauhan. Tak lama, ada restaurant di pinggir jalan dengan lampu yang remang-remang. Aku lupa namanya, tapi bukan ini tempatnya. Kami tetap melanjutkan perjalanan. Ada mobil kuning yang membuntuti di belakang, tampaknya mau menuju lokasi yang sama. Dari jauh tampak matahari sudah mau kembali ke peraduan, warnanya oranye cantik sekali. Tandanya sunset sudah dipastikan lenyap saat kami sampai di lokasi tujuan. 

Saat Ibu sudah mengomel entah ronde ke berapa. Akhirnya kami sampai juga. Tampak tulisan Obelix Hill di kejauhan, dengan mobil-mobil yang berjajar berurutan bersiap untuk memasuki lokasi parkiran. Belum lagi motor-motor. Ya ampun lagi!! banyak kaliii orang-orang yang mau plesiran disana, padahal hari itu Selasa dan bukan hari libur/ tanggal merah. Mobil harus antre bergantian karena untuk menuju lokasi parkir harus menanjak di jalanan kapur baru yang licin. Mungkin untuk aspek safety, jadi lumayan antre cukup lama disitu saja. Ibu lagi-lagi menyerocos tentang ramainya tempat itu, dan mengajak untuk pulang saja. Untung Bapak tidak mudah terpengaruh dan enggan menyerah. Kami tetap akan parkir dan melihat situasi.

Sedikit cerita sedikit, memang tayangan dan postingan tentang tempat ini viral sekali. Para influencer itu mampu mengcapture sudut-sudut indah dengan kreativitas mereka sehingga tampak sangat instagramable. Obelix Hill mengklaim punya lebih dari 30 spot foto selfie. Ditambah warna-warni beanbag yang membuat tempat nongkrong menonton sunset ini tampak semarak. Mari kita buktikan!

Lokasi parkirnya luas sekali, karena berada di perbukitan yang berundak, tempat parkirnya pun ber-level. Ada yang di atas dan di bawah. Kami hampir saja tidak kebagian parkir karena semua penuh. Sampai akhirnya ada satu space kosong di dekat tebing batu tidak jauh dari pintu masuk. Ibu, Bapak, dan Narra nunggu di mobil untuk keamanan (secara ruameeee bund, takut boss kecil ga bisa prokes), sementara aku masuk sama Mak ARTku memutuskan masuk untuk sekadar mengambil foto. Jalan kaki sedikit menuju pintu masuk, ada standing letter besar bertuliskan OBELIX HILL. Kami mencuci tangan (ada sejumlah wastafel di depan loket tiket)  lalu dicek suhunya. Lantas aku beli tiket masuk seharga 15ribu/orang (weekdays) kalo weekend 20ribu/orang.

Bicara soal prokes, gimana ya kalo penerapannya sendiri masih kurang sesuai. Entah darimana sejarah asalnya cek suhu ditembak di punggung tangan, ya jelas nggak bakal valid lah bambang. Satu lagi, kalo misal suhu menunjukkan angka di bawah 35 derajat celcius. Itu patut dicurigai emang cara ngukurnya yang keliru atau alatnya yang udah nggak standar lagi. Masa aku pernah diukur suhunya 32 derajat celcius, mana ada suhu manusia sedingin itu woe, emangnya mummy. Lagian, ngukur suhu itu aku rasa udah kurang relevan dengan perkembangan pandemi Covid-19 ini bund. Secara, mana ada orang demam jalan-jalan, tapi kalo orang pilek or batuk bahkan anosmia masih ada mungkinnya. Itulah kenapa buat pengelola tempat wisata atau kantor atau apalah, sebaiknya petugas yang ngecek suhu itu harus diberikan pengetahuan cara baca suhu yang tepat, pemakaian alat yang tepat, bahkan screening kesehatan sederhana.

Back to this matter, aku minta bapaknya nembak suhu di jidatku. Pas itu jujur aku masih ada sisa pilek sedikit bund, tapi alhamdulillah flu biasa karena hasil swab antigenku negatif. Dan aku pastikan aku sangat menjaga jarak, pake masker KN-95, nggak pernah pegang apapun, desinfeksi sendiri semua barang-barang pribadi yang aku pegang dan selama di lokasi sama sekali nggak buka masker even buat foto. Takut bund.

Standing Letter depan pintu masuk

Impresi awal setelah masuk, suasana enak outdoor dengan angin sembribit jelang Maghrib. Tapi orangnya ramai kaliii bundd nggak nahan. Di satu sisi ini adalah tanda positif geliat wisata Jogja yang mulai pulih, di sisi lain ini alarm juga buat pengelola dan pemerintah setempat untuk bisa me-manage prokes dengan optimal. Jangan sampai lokasi ini (amit-amit) justru malah jadi klaster penularan Covid-19. Apalagi yang sangat disayangkan, banyak bangeeet pengunjung yang nggak menerapkan prokes dengan ketat. Yang pualiing sering aku jumpai adalah tidak memakai masker, atau maskernya cuman digantunging doang, atau maskerin dagu. Biasanya mereka abis foto lepas masker dan ga dipake lagi maskernya. Plis banget nggak ada pengawasan ketat dari pengelola soal ini. Padahal kita kan sama-sama pengen entertained dan tetep sehat sepulang ke rumah. Tolong ini bisa ditingkatkan lagi buat pengelola, misalnya rajin-rajin kasih reminder lewat pengeras suara atau ada petugas yang secara tegas berkeliling dan mengingatkan prokes. Untungnya disini

Untuk lokasi sendiri menurut pendapat personalku kurang balita-friendly dan elderly-friendly. Untung aja Narra sama Ibuku gaikutan, bisa rempong maxx kalo iya. Jadi tipenya banyak anak tangga menurun gitu kalau mau ke lokasi. Agak effort buat naiknya lagi kalo gendong bayi or buat orang yang sepuh. 









Banyak batu-batu besar yang dibiarkan menjadi ornamen dekoratif di lokasi ini. Disamping banyak tempat yang mereka bilang spot selfie. Sebenernya aku sendiri bukan penggemar wisata selfie, karena umumnya wisata selfie itu sangat komersil, kurang alami, dan kurang banyak atraksi yang bisa disajikan selain pemandangan (misalnya kurang ada kegiatan/aktivitas yang bisa dilakukan selain cuman foto). Konsep design exterior-nya disini sebenernya agak campur-campur, ada spot yang kayak Latino Mexican gitu, ada yang kayak bohemian, ada yang Indonesian (karena banyak batu). Yah begitulah, emang sepinter itu para influencer mengemas ini jadi tampak wow di foto. Seperti biasa di awal masuk langsung ada suguhan spot selfie anjungan teras kaca ala-ala gitu, yang ada kontes berhadiahnya kalo foto selfie disitu.



Kalo discussant mau nyari inspirasi foto model begimana, silahkan bisa cek di instagram Obelix Hills atau foto yang di-tag ke mereka di Instagram. Setelah kucermati mendalam, pada hakikatnya ini tu lebih dominan tempat makannya. Karena tampak ada beberapa area meja dan kursi tempat makan disini. Untuk resto/cafenya jual menu apa, jujur aku nggak bisa share karena aku nggak makan or beli minum. Discussant bisa cek sendiri di postingan mereka di Instagram. Yang jelas area makannya super penuh dan bisa dipastikan sangat minim physical distancing. Syukurnya, lokasi ini adalah area outdoor dengan sirkulasi udara maksimal. Semoga bisa meminimalisasi droplets yang terbang berkeliaran saat pengunjung buka masker, makan, dan ngobrol-ngobrol santuy di saat meja sebelah yang penuh adalah pengunjung yang jelas-jelas beda rumah bahkan beda daerah. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan, Aamiin.

Area makannya sendiri ada di beberapa level, termasuk di bawah tenda besar ini.













Despite the adrenaline feelings that covered my heart, aku cukup terhibur dengan kunjunganku kesini. Lokasi ini menyuguhkan pemandangan city skyline dan lights yang oke banget, makanya lebih enak berkunjung kesini antara sore sampai malam hari supaya nggak panas. Selain itu banyak tempat duduk dan lesehan juga serta tempat leyeh-leyeh macem beanbag gitu. Saranku sebelum dipakai, plis sanitize dulu dengan disemprot disinfektan. Rajin-rajin pake handsanitizer kalo abis megang apapun. Nggak usah buka masker kalo kondisi rame, buka bentar buat foto bisa kalo emang jauh dari orang. Aku aja parno tiap ada orang lewat di deketku sambil ngobrol padahal ga pake masker. Auto semprot desinfektan sebadan akunya. Nanti di akhir aku bakal share starter kit buat berkunjung kesini. Oiya musholla dan toilet juga ada, jadi gausah khawatir, tapi aku belum cek ya bersih enggaknya karena nggak masuk. Better buat sholat di luar lokasi ini sih kalo emang ruameee. 


















Aku disini nggak lebih dari 30 menit aja karena emang cuman foto-foto doang, itupun buru-buru dan serba cepet. Mak ART aku komando buat ngikutin pergerakanku yang sat set, sekaligus motoin. Soalnya ada anak dan ortu yang nunggu di mobil, takut kelamaan. Eh ternyata waktu udah pulang ke rumah, aku liat ada junior SMAku yang kesini juga dan foto-foto ala-ala. Anaknya emang cakep sih jadi memper aja mau foto begimana, nggak kaya uwe dah emak-emak gini wkwkwk. Ada spot foto yang kaya Mexican gitu yang bangunan kotak pink, trus ada spot jaring-jaring kaya buat tiduran di atas laut gitu kalo di resort Maldives, sama spot ayunan. Yah kapan-kapan lagi deh dicoba kalo pas suami pulang kampung (dan nggak serame ini). 

So, buat discussant yang mau kesini berikut starter kit yang kalian bisa bawa:

1. Baju ala anak-anak Tiktok yang kece buat foto-foto

2. Topi kalo kalian dateng pagi sampe siang (jangan lupa pake sunscreen)

3. Pake sepatu atau sendal yang nyaman buat hike, tidak disarankan pake heels

4. Bawa kamera, handphone, dan uang buat beli tiket atau beli makan

5. Bawa alat sholat sendiri

6. Bawa hand sanitizer, semprotan desinfektan, tisu kering dan basah, dan pake masker medis

7. Bawa payung buat jaga-jaga kalo tiba-tiba ujan

Oiya pastikan juga drivernya adalah berpengalaman dan andal di berbagai situasi dan kondisi jalanan ya. Sebagai penutup, mau kasih bonus foto-foto selfieku ya bund wkwkwk. Semua foto aku ambil pakai HP jadulku Samsung S7, maaf kalo kurang maxx. Oiya, aku juga udah tulis ulasannya di Google Local Guide aku, Ika Hapsari, jangan lupa di-follow yang bund..udah level  nih.







Outfit aku untuk tunik dari brand Moela, bahannya katun rayon jadi adem buat aktivitas. Tas anyaman decoupage ini hadiah kenang-kenangan dari istri Pak Kakanwilku dulu. Jilbab voal plain aku beli di shopee tapi lupa nama tokonya. Sandal jelly gladiator beli dari Mbak Sinta. Simple-simple aja bund fashion mamak kini, apalagi badan udah mekar begini mau pake yang cuttingan aneh-aneh udah nggak pede bund. Hiks. Ini nanti bakal aku up di postingan lain ya, soal insecurity aku wkwkwkwk. Bye! 

Minggu, 16 Mei 2021

Explore Desa Kincir Angin Zaanse Schans Belanda

Jadi, ada beberapa opsi bagi para pelancong yang ingin melihat kincir angin tradisional khas Belanda. Dua yang populer adalah Desa Kinderdijk dan Zaanse Schans. Pada dasarnya, ada buanyaaaaak banget kincir angin di Belanda, dan itu bisa kita saksikan di sepanjang perjalanan menuju Belanda. Di tepi-tepi jalan raya menuju pusat kota, banyak sekali ladang hijau terbuka sebagai lokasi kincir angin modern. Seperti apa bentuknya? kalau temen-temen pernah lihat kincir angin modern yang ada di PLTB Sidrap, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, nah warnanya putih semacam itu. Untuk harga satunya pun mahal banget bund kata tour guide kita. Mungkin karena di Belanda itu super berangin ya, jadi banyak banget kincir angin disana.

Nah kalau yang di desa kincir angin itu masih mempertahankan kincir angin tradisional yang dari kayu itu bund. Berhubung Desa Kinderdijk letaknya 91 km dari Amsterdam, maka rombongan kita pun mengunjungi Zaanse Schans. 

Dilansir dari kompas.com, Kawasan wisata Zaanse Schans lokasinya tidak jauh dari Amsterdam yakni sekitar 21 kilometer. Zaanse Schans terletak di wilayah pemerintahan Zaanstad dengan ibukotanya di Zaandam dan terkenal juga sebagai kota industri pertama di Eropa. Kawasan wisata Zaanse Schan berada di kota Zaandijk yang berdekatan dengan Zaandam. Di sana, wisatawan juga bisa mempelajari fungsi kincir angin juga akan mengenal sekaligus menikmati keindahan daerah yang mempresentasikan cara hidup orang Belanda abad 17-18 atau dikenal juga sebagai Open Air Museum. Wisatawan bisa menikmati suasana dengan berjalan kaki di sepanjang tepi Sungai Zaan, mengunjungi berbagai obyek wisata di kawasan tersebut. Wisatawan juga bisa juga dengan menaiki kapal wisata menyusuri sungai (rondvaart).











Nggak ada kata lain selain buaguuusss. Meskipun suasana pedesaan, tapi karena disini adalah desa wisata jadi dalam satu kompleks gitu ada banyak atraksi yang bisa dilihat. Di lokasi ini ada semacam pondok pondok kayu yang tersebar di berbagai sudut, antara lain pengrajin clog kayu (selop khas Belanda), toko souvenir, toko keju,cafe dan restoran, hingga museum. Di samping itu ada atraksi utama disini yaitu kincir angin kayu tradisional. Nah kalau discussant pengen tau detil ada apa aja disini, silakan klik link ini: https://travelingyuk.com/zaanse-schans/139581 atau https://www.idntimes.com/travel/destination/dessy-savitri/tempat-wisata-di-zaanse-schans-belanda-c1c2/3

Kenapa aku nggak bisa ceritain satu demi satu berdasarkan pengalamanku sendiri? ya karena aku nggak masuk ke dalamnya, jadi aku bisa ngadi-ngadi buat cerita disini. Maaf yaa. Jujur, karena moodku lagi kacau setelah peristiwa di lokasi sebelumnya (bisa baca di postinganku sebelumnya yang Volendam), jadi waktu disini aku kurang begitu menikmati. Alhasil aku cuman jalan-jalan di sekitar outdoor area aja dan foto-foto. Selain itu, waktu yang selalu in rush dan sangat pendek, membuat kita kurang bebas untuk bisa meng-explore semua sudut Zaanse Schans yang super duper luas. Ditambah lagi memori HP dan kamera yang udah abis jadi nggak bisa nyimpan foto banyak-banyak huhuhu.









Satu dari banyak yang aku sesalin juga, jadi Zaanse Schans itu terletak di Zaandam. Nah di Zaandam itu ada hotel yang unik banget dan instagramable, namanya Inntel Hotel Zaandam. Letaknya sebenernya nggak jauh dari Zaanse Schans ini, tapi ya karena ikut rombongan jadi ngga memungkinkan buat pergi di luar agenda. Apalagi siangnya kita langsung off ke airport.

Setidaknya masih ada yang bisa dikenang, salah satunya 3 partner yang masih semangat selfie-selfie ini wkwkwk.



Masih berharap suatu hari dapet rejeki beasiswa S2 ke Belanda jadi bisa mengulang yang belum terlaksana atau yang mengecewakan di 2017 lalu. Mohon doanya ya bunddd. Aamiin.