Rabu, 15 Juni 2022

Merealisasi Ambisi Transisi Energi

 Artikel ini merupakan artikel yang saya tulis saat mengikuti lomba menulis artikel dari Bisnis Indonesia, namun belum berhasil placement. Well, ini saya buat hanya dalam waktu 2 jam sebelum deadline upload. Banyak distraksi yang membuat saya jadi kurang produktif belakangan ini. Hiks...

Indonesia menandai babak baru dalam mewujudkan ambisi besar transformasi energi menuju Energi Bersih Terbarukan (EBT). Sebagai pemegang presidensi G20 tahun 2022, upaya ini menjadi ajang unjuk gigi komitmen Indonesia di mata dunia dalam upaya pengurangan emisi karbon.

Pasalnya, Presiden Joko Widodo baru saja meresmikan peluncuran Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging pertama di Indonesia pada Jumat, 25 Maret 2022 di Parkir Sentral ITDC Nusa Dua Bali.

Dilansir dari laman sosial media Instagram Presiden @jokowi, peluncuran ini dilakukan dalam rangka mendukung kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-Negara G20 di Bali pada November 2022. Sebanyak 60 SPKLU Ultra Fast Charging 200 KW dan 150 titik fasilitas home charging yang telah disiapkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan digunakan untuk mengisi daya mobil listrik bagi seluruh delegasi KTT G20. Ini hanyalah salah satu contoh komitmen yang direalisasikan Indonesia dalam kapasitasnya sebagai pemegang Presidensi G20 tahun 2022.

Sustainable Energy Transition atau Transisi Energi Berkelanjutan merupakan salah satu isu prioritas yang diangkat oleh Indonesia dalam Presidensi G20 tahun ini. Dengan memformulasikan isu ini, Indonesia mengharapkan upaya dekarbonisasi melalui akselerasi transisi energi menuju energi bersih terbarukan demi keberlangsungan komunitas global. Indonesia digadang-gadang mampu menjadi katalisator dan motor yang memberikan teladan melalui konsep lead by example.

Transisi energi akan menekan pelepasan gas karbon ke udara sebagai penyumbang terbesar efek rumah kaca. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca inilah yang berpotensi mengakselerasi laju pemanasan global. Pemanasan global atau global warming inilah yang menyebabkan katasrofe yang jauh lebih dahsyat dibandingkan pandemi Covid-19. Malapetaka yang menjadi ancaman nyata di depan mata yang tidak saja dapat menimbulkan datangnya pandemi lainnya, tetapi juga bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut dan curah hujan, cuaca ekstrem, migrasi besar-besaran, kelaparan, hingga disrupsi di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat mengancam kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Ialah perubahan iklim.  

Berbekal komitmen yang disepakati dalam Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow pada 2021 lalu, Indonesia menegaskan kembali pentingnya upaya adaptasi, mitigasi, dan pendanaan iklim dalam rangka mewujudkan ambisi besar emisi nol bersih (Net Zero Emission). Di samping upaya seluruh pemimpin negara untuk mempertahankan kenaikan suhu rata-rata Bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celcius setiap tahunnya.

Indonesia memegang andil besar dalam kepemimpinannya sebagai Presidensi G20, pun dengan peran yang disandang Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai Co-Chair Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Aksi Perubahan Iklim periode 2021-2023. Terpilihnya Menteri Keuangan Indonesia mengafirmasi kepercayaan internasional sekaligus menambahkan posisi strategis Indonesia dalam penanganan perubahan iklim global.

Mengingat besarnya urgensi tersebut, pembahasan iklim diangkat dalam agenda pertemuan G20 Presidensi Indonesia. Isu ini dibahas baik pada jalur Sherpa (Sherpa track), jalur keuangan (Finance track), termasuk dalam grup kerja (Working Group).

Pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral pertama di Jakarta pada Februari 2022 lalu telah menghasilkan komunike yang akan dilakoni bersama. Pembahasan mengenai upaya penanganan perubahan iklim dituangkan dalam poin nomor 9 dan 10. Secara garis besar, negara-negara G20 bersepakat untuk memperkuat komitmen global dalam rangka mencapai tujuan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change), Perjanjian Paris, dan COP26.

Berikutnya, para petinggi di jalur Keuangan G20 juga menegaskan tentang keuangan hijau yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan pemulihan ekonomi global dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Eksposur yang tidak kalah penting adalah mendorong komitmen negara-negara maju dalam upaya mobilisasi pendanaan iklim bersama sebesar USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020 dan setiap tahun hingga tahun 2025 untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang.

Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat menjadi kolaborasi global dalam rangka penanganan laju perubahan iklim melalui transisi energi, serta bagaimana Indonesia dapat memaksimalkan peran lead by example berdasarkan strategi yang telah ditempuh hingga saat ini.

Pertama, penerapan kebijakan hijau yang distandardisasi secara internasional dengan target nyata mewujudkan emisi nol bersih.

Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia ditargetkan mampu mencapai emisi nol bersih 100% pada 2060. Sementara Indonesia sendiri memiliki target untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) yaitu menurukan emisi karbon sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Komitmen Indonesia dalam Paris Agreement ini telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016.

Adapun Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengatur tentang Mekanisme Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kerangka materialnya setidaknya terdiri dari 4 hal yaitu perdagangan karbon, Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment), pungutan atas Pajak Karbon, dan mekanisme lainnya dalam hal ini antara lain Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism).

Disamping hal tersebut, Indonesia telah memiliki peta jalan karbon yang memberikan gambaran linimasa upaya transisi energi dalam rangka penurunan emisi karbon. Diantaranya melalui pembentukan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang masih dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Harmonisasi antarkebijakan dan keberhasilan pengimplementasiannya menjadi sorotan utama dalam hal Indonesia sebagai acuan di mata dunia.

Kedua, mengeliminasi penggunaan bahan bakar fosil, menghapus subsidi bahan bakar fosil, dan penghentian Pembangkit Listrik yang menggunakan sumber energi berbahan bakar fosil.

Isu ini masih menjadi problematika yang sensitif bagi sebagian negara mengingat ekonomi mereka bergantung pada sejumlah sektor yang bertumpu pada energi berbasis fosil.

Sektor penyumbang gas karbon terbesar di Indonesia adalah industri (37%), kelistrikan (27%) dan transportasi  (27%).  Ironi ini menguatkan fakta bahwa sektor tersebut masih menggunakan bahan bakar dari sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Tantangan ini harus mampu dipatahkan dengan mengkampanyekan aksi nyata dan keberhasilan transisi energi menuju EBT.

Indonesia memiliki potensi yang besar dalam hal EBT diantaranya energi panas bumi, panas matahari, gelombang, arus, dan panas permukaan laut, sungai, dan angin. Sinyal ini merupakan satu kesempatan Indonesia untuk mengembangkan dan membuka investasi hijau dan skema pendanaan berkonsep ekonomi hijau.

Ketiga, penguatan keuangan hijau berkelanjutan dan menerapkan intervensi fiskal.

Pendanaan menjadi satu aspek utama dalam pengembangan transisi hijau menuju EBT. Mendorong partisipasi modal swasta dalam investasi berkelanjutan yang mempromosikan transisi hijau dapat menjadi opsi. Melibatkan publik dengan membuka kesempatan investasi melalui instrumen pembiayaan inovatif seperti green bond atau green sukuk juga telah dilakukan Indonesia.

Sementara penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah dilakukan dengan berdasarkan Climate Budget Tagging, yaitu instrumen pendanaan bagi perubahan iklim. Pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai pengelola dana terkait kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon dan lainnya di Kementerian dan/atau Lembaga.

Sisi fiskal memberikan sumbangsih dalam wujud penerapan pajak karbon. Indonesia adalah salah satu negara yang meneken penerapan pajak karbon dengan skema cap and tax yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Beleid ini setidaknya diharapkan mampu mengurangi eksternalitas negatif atas dampak yang dihasilkan emisi karbon.

Dengan semangat Recover Together, Recover Stronger, Indonesia sebagai pimpinan G20 pada 2022 dapat menjadi ujung tombak pengendali iklim. Pun mengajak seluruh negara-negara G20 sebagai 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, untuk dapat melakukan pendekatan ekonomi sebagai salah satu upaya dalam penanganan perubahan iklim melalui transisi energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar