Artikel ini adalah tulisan yang aku buat untuk mengikuti lomba menulis dalam rangka Hari Oeang yang diselenggarakan kalau tidak salah oleh Kanwil DJBC Sulbagsel yang tidak menang. Wkwkwkw. Entah kenapa aku juga kurang puas sama hasil tulisanku ini. Selain bikinnya buru-buru juga agak kurang gimana gitu. Ya wajarlah ga menang hehe. At least tetep mencoba walaupun kalah, daripada tidak ambil kesempatan sama sekali. Fix motto hidup.
Resiliensi
Indonesia terbukti teruji ketika berhasil melalui puncak gelombang kedua
pandemi Corona Virus Disease 19
(Covid-19) pada Juli hingga Agustus 2021 lalu. Bahkan negara Group of Twenty (G-20) hingga lembaga
dunia seperti Bank Dunia (World Bank) dan Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization) memuji kecakapan Indonesia dalam mengendalikan transmisi varian
baru (Delta). Hal ini tidak terlepas dari akselerasi vaksinasi Covid-19 yang
telah mencapai lebih dari 100 juta dosis suntikan hingga Oktober 2021. Prestasi
ini membawa Indonesia menduduki peringkat pertama indeks pemulihan Covid-19 di
Asia Tenggara.
Pengadaan
dan pelaksanaan vaksin dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dengan anggaran sejumlah 58,11 triliun Rupiah. APBN telah berperan
sebagai game changer dalam Penanganan
Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Realokasi anggaran yang
difokuskan pada PC-PEN, ditambah kebijakan Pemberlakuaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM) telah mampu menekan laju penularan dan membangkitkan kembali ekonomi. Ekonomi
tumbuh positif sebesar 7,07% pada triwulan II tahun 2021. Sementara defisit APBN
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mampu ditekan hingga minus 2,32% per Agustus
2021 (BKF,2021).
Tak
salah bila berlandaskan data tersebut, perlahan namun pasti, Indonesia telah
merangkak naik dari jurang resesi dan pulih dari hantaman krisis akibat
pandemi. Indonesia berhak merayakan ketangguhan bertumbuh dalam situasi yang
penuh ketidakpastian. Meski demikian, kewaspadaan harus tetap dinomorsatukan.
Pandemi
boleh jadi sebuah hantaman besar bagi mimpi Indonesia menuju predikat negara
maju pada 2045. Pada tahun tersebut, Indonesia diproyeksikan memperoleh bonus
demografi dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) berusia produktif
diantara 309 juta penduduknya. Ekonomi Indonesia di masa emas tersebut juga
diprediksikan menjadi terbesar keempat dunia. Target ini tidak terdengar
muluk-muluk apabila sejumlah prasyarat dapat terpenuhi, dimulai dengan
infrastruktur yang memadai, pembangunan daerah yang baik, kemampuan mengadopsi
teknologi, kebijakan ekonomi yang baik, dan SDM yang berkualitas tinggi
(Kemenkeu, 2021).
Menyoal
SDM berkualitas, negara perlu menyiapkannya sejak kini. Menitikberatkan pada
pentingnya dukungan gizi sejak calon bayi masih dalam kandungan Ibu, pencegahan
stunting pada seribu hari pertama, hingga jaminan pendidikan dan kesempatan
untuk meraih pendidikan hingga jenjang tertinggi. Indonesia dapat berkaca dari
salah satu negara dengan indeks kesejahteraan anak tertinggi versi Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD): Swedia.
Swedia
memiliki konsep pengasuhan anak ala Swedia yang populer di seluruh dunia. Tidak
berhenti disitu, Swedia juga dikenal dengan filosofi hidup “Lagom” yang
mengajarkan tentang keseimbangan kehidupan. Lantaran hal itu, maka tak heran
jika Swedia juga menempati posisi teratas dalam indeks kebahagiaan, keseimbangan
hidup dan pekerjaan (work-life balance),
serta indeks kesejahteraan masyarakat dan kepuasan hidup menurut OECD.
Pemerintah Swedia memperhatikan seluk beluk kesejahteraan warganya sedari
kanak-kanak hingga terciptalah masyarakat dewasa yang bahagia. Maka tidak
mengherankan jika remaja visioner seperti Greta Thunberg, sang aktivis
lingkungan dan pemerhati perubahan iklim global tumbuh dari lingkungan ini. Hal
ini pun nyatanya berkorelasi dengan tarif pengenaan pajak yang ditetapkan oleh
pemerintah Swedia bagi warganya, yakni mencapai 52,9% dari penghasilan yang
diperoleh orang pribadi.
Jangan
khawatir, Indonesia pun tak kalah layak untuk menuju gerbang besar
kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Tujuan negara Indonesia telah tertuang
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kancah global,
pemerintah juga telah berkomitmen dalam sebuah rencana aksi berjuluk
Sustainable Development Goals (SGDs) guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi
kesenjangan, dan melindungi lingkungan.
Bermula
dari langkah pemungutan pajak Indonesia yang terus bereformasi menuju basis
pajak yang lebih kuat dan merata, APBN sehat dan berkelanjutan, serta
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam kerangka besar transformasi kelembagaan
yang diusung oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI),
Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas resmi penghimpun pajak terus berupaya
membangun sistem perpajakan yang adil, efektif, dan akuntabel.
Pada
hakikatnya, publik Indonesia memiliki rasa simpati dan gotong royong yang
tinggi. Fakta ini dibuktikan dengan kesuksesan Indonesia meraih predikat
sebagai negara paling dermawan di dunia berdasarkan riset Charities Aid
Foundation (CAF) World Giving Index 2021. Justru di tengah pandemi, Indonesia
mampu bersatu meninggalkan berbagai latar belakang suku, agama, ras, budaya, dan
kepentingan pribadi, untuk saling menolong. Paradigma ini yang semestinya dapat
diangkat sebagai persepsi kesadaran pajak dalam masyarakat. Bahwa berkontribusi
dengan membayar pajak, sama dengan sumbangsih dari pihak yang lebih mampu yakni
wajib pajak yang membayar atau dipungut pajak, kepada warga prasejahtera yang
membutuhkan, warga sakit yang mengharapkan kesembuhan, atau sesederhana kepada
seluruh masyarakat yang memperoleh suntikan vaksin.
SDM Kemenkeu
RI sebagai garda depan pengelolaan keuangan negara, merupakan pilar-pilar utama
ihwal mewujudkan kesejahteraan tersebut. Kuncinya adalah menumbuhkan renjana
kinerja berbasis aksi inisiatif yang berpedoman pada nilai-nilai, kode etik,
dan budaya Kementerian Keuangan, dengan tanpa meninggalkan potensi dan talenta
yang dimiliki.
Strategi Renjana Kerja
Setidaknya
terdapat empat strategi yang dapat diimplementasikan oleh SDM Kemenkeu RI untuk
menumbuhkan etos atau renjana dalam bekerja melampaui ekspektasi.
Pertama,
mengutamakan kolaborasi di atas kompetisi. Selaras dengan nilai sinergi,
kolaborasi adalah metode menghimpun ide, pemikiran, dan aksi terbaik dari
berbagai sumber berbeda yang bermanfaat bagi kepentingan organisasi.
Keberhasilannya ditentukan oleh niat untuk mengeliminasi kecintaan berlebihan
akan unit sendiri, menghapus silo-silo, dan mempersilahkan hadirnya penghargaan
akan keragaman. Opsi ini sejalan dengan slogan Kemenkeu Satu yang telah diusung
oleh Kemenkeu RI.
Kedua,
senantiasa mengeskalasi kompetensi dan mengasah potensi diri. Kemampuan
beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital sangat esensial di era society 5.0 saat ini. Kemahiran ini
dapat dikuasai dengan menjadi insan pembelajar yang senantiasa melakukan
pembaruan wawasan dan informasi terkait kebijakan fiskal, keuangan negara,
teknologi informasi, dll. Disamping hard
skill, soft competency seperti
berpikir kreatif, kepemimpinan, komunikasi, dll, juga penting untuk menunjang
kinerja maksimal.
Ketiga,
mendukung, mendorong, dan mengamplifikasi program Reformasi Birokrasi dan
Transformasi Kelembagaan (RBTK) yang tengah bergulir dalam tubuh organisasi.
SDM Kemenkeu RI berperan sebagai agen perubahan yang tidak saja memberikan
teladan, tetapi juga mengajak pihak internal maupun eksternal (pemangku kepentingan)
untuk menyukseskan program RBTK Kemenkeu RI.
Keempat,
menerapkan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance). Gairah kerja akan otomatis terbentuk apabila
seseorang telah mampu memaknai fungsi dan nilai bekerja bagi dirinya. Selanjutnya,
ia harus mampu memanajemen waktu dan berbagai perannya dalam kehidupan tersebut
secara optimal.
Sebagaimana piramida kebutuhan menurut Abraham
Maslow, bekerja bermakna tidak lagi sekadar tujuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan primernya, melainkan juga kemampuan memenuhi kebutuhan pada puncak
tertinggi piramida, yaitu mengaktualisasikan diri dan memberikan manfaat bagi
bangsa dan sesamanya.