Artikel ini adalah artikel yang aku buat iseng untuk ikut lomba esai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2020. Pemenangnya jelas orang BC-lah wkwkwkw kan doi lebih tau kondisi dalemnya gimana. Ya, saya sebagai penulis junior dan kurang riset ya cukup puas bisa ikut nyumbang ide. Memang di tahun itu aku banyak mencoba dan banyak gagalnya. Tapi dasar aku, lebih baik kalah daripada tidak mencoba sama sekali. So, daripada ngendon di laptop, mending diarsipkan disini saja.
Konstitusi
telah mengikrarkan bahwa pengelolaan negara diantaranya dibiayai melalui pajak
dan pungutan resmi yang diatur undang-undang. Hal ini dikuatkan dengan pasal 23
Undang-Undang Dasar 1945 yang secara gamblang menyebutkan, “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang”. Pengelolaan pembiayaan negara tersebut diatur dalam
mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada akun pendapatan
negara dalam APBN pun, pajak dan cukai bersandingan dalam satu pos penerimaan
perpajakan.
APBN
tahun 2020 telah menetapkan perubahan pada pos pendapatan negara APBN melalui
Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2020. Hal ini dilakukan sebagai respon atas
dampak pandemi Covid-19. Pendapatan negara turun menjadi Rp1.669,9 Triliun.
Dari total tersebut, 84,12 %-nya ditopang dari penerimaan perpajakan yakni
sebesar Rp 1.404,6 Triliun. Penerimaan perpajakan yang menjadi tulang punggung
pendapatan negara dalam APBN tahun 2020 ini memiliki peran yang sangat
signifikan dalam mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Di Indonesia dikenal dua institusi resmi di bawah Kementerian Keuangan yang berperan dalam merealisasikan penerimaan perpajakan negara tersebut, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dampak strategis dalam rangka mewujudkan transformasi digital Kemenkeu tahun 2020 diejawantahkan dalam tiga hasil tematik. Salah satu tema yang esensial adalah tema penerimaan, dengan visi merealisasikan penerimaan negara yang optimal. Tema ini diwujudkan dalam lima inisiatif strategis, salah satunya adalah joint program (program bersama) optimalisasi penerimaan antara DJP dan DJBC. Selaras dengan nilai-nilai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) “Sinergi”, DJP dan DJBC selayaknya bergerak beriringan dalam upaya pengamanan penerimaan negara dari sektor perpajakan dan cukai. Utamanya dalam situasi krisis akibat pandemi saat ini.
Sinergi Optimalisasi
1.
Eskalasi
joint audit yang dielaborasi dalam
perspektif kolaborasi
Khotimah (2014) menyimpulkan bahwa
timbulnya kendala pemeriksaan dalam menguji kepatuhan yang dialami DJP dan DJBC
adalah keterbatasan koordinasi arus data dan informasi audit. Joint audit (audit bersama) menjadi solusi
untuk meningkatkan efektivitas pertukaran data juga kepatuhan dan penegakan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Dari
sisi eksternal, skema joint audit dapat
membenahi perilaku dan kebiasaan para pengusaha. Hal ini diharapkan dapat meminimalisasi potensi kerugian penerimaan
negara serta memangkas proses bisnis dan kebijakan yang tidak relevan, sehingga
bermuara pada optimalisasi penerimaan negara.
Konsep kolaborasi berbasis
transformasi digital yang diusung Kemenkeu dapat diimplementasikan dengan
pemanfaatan basis data bersama yang terintegrasi. Basis data yang diperoleh
dari data internal dan eksternal DJP dan DJBC dapat digunakan secara aman dan
bertanggungjawab dalam proses e-audit
oleh auditor independen dari masing-masing institusi. Joint audit dengan dukungan basis data terintegrasi serta metode dengan
pemanfaatan teknologi informasi mendorong kedua institusi untuk tidak lagi berpikir
secara parsial dalam rangka mencapai hasil berupa tambahan penerimaan negara.
2.
Implementasi
e-Revenue Joint Service (Layanan
Bersama Penerimaan Negara Secara Elektronik) yang berorientasi pada pelanggan
Salah satu jangkar bisnis dari
DJP dan DJBC adalah pelayanan kepada pemangku kepentingan, dalam hal ini wajib
pajak (wp) dan pengguna jasa. Dalam beberapa situasi, terdapat irisan pemangku
kepentingan yang diampu DJP dan DJBC. Sebagai contoh satu importir atau eksportir
dapat berperan sebagai pemangku kepentingan dari kedua institusi.
Dalam jurnal
yang dirilis OECD pada tahun 2015 yang berjudul Estonia: e-Tax/ e-Customs Initiative diketahui bahwa negara Estonia
melalui Estonian Tax and Customs Board
(ETCB) berhasil meningkatkan indeks kepuasan layanan kepada klien mereka dengan
menerapkan satu platform (program) layanan
terintegrasi antara pajak, kepabeanan, dan cukai.
Konsep ini menarik untuk diadaptasi di
Indonesia. Pengguna dapat mengakses program digital secara mudah seperti laman situs
web, aplikasi, atau bahkan kecerdasan buatan melalui internet dari gawai mereka.
Pemangku kepentingan dapat memanfaatkan layanan dari hulu ke hilir secara
daring dengan jauh lebih cepat dan efisien. Layanan tersebut diantaranya pengajuan
permohonan, akses informasi dan peraturan terkini, pembayaran hingga pelaporan.
Pemangku kepentingan juga dapat memperoleh notifikasi pengingat akan kewajiban
pembayaran atau pelaporan yang belum dilaksanakan.
Dari sisi pembayaran, satu kanal
pembayaran negara yang dapat diakses secara sederhana dan cepat, tentu akan
menjadi jalan keluar solutif. Selama ini banyak wp ataupun pengguna jasa yang
mengeluhkan metode pembayaran yang dianggap masih berbelit-belit. E-revenue joint service ini menawarkan
penyederhanaan administrasi proses pembayaran. Misalnya, pembayaran dapat
dilakukan semudah dengan melakukan pindai kode batang seperti halnya pembayaran
pada laman lokapasar. Pembayaran efektif lainnya adalah
sistem autodebit dari rekening bank atau dompet digital yang dimiliki pengguna.
Hasil yang diharapkan adalah
peningkatan kepatuhan sukarela para pengguna jasa, peningkatan migrasi pengguna
jasa ke ranah pelayanan digital, serta penurunan piutang pajak.
3.
Bangun
kultur literasi APBN bagi generasi masa depan
Indonesia
masih mengalami ketertinggalan dalam hal literasi dan kultur membaca dibanding
negara G-20 lainnya. Padahal, pengetahuan tentang APBN penting untuk dipahami tidak
saja bagi para wp dan pengguna jasa, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia,
yang telah merasakan manfaat dari fasilitas-fasilitas negara yang dibiayai
APBN. Disadari atau tidak, literasi keuangan, inklusi perpajakan, dan edukasi
APBN sangat esensial dalam rangka mengentaskan Indonesia dari middle income trap (perangkap pendapatan
menengah) dan menyiapkan diri menjadi negara maju. Terlebih, Sumber Daya
Manusia (SDM) merupakan aset berharga bangsa dalam mengatasi kesenjangan
ekonomi maupun sosial yang terjadi secara nasional ataupun global.
DJP dan DJBC dapat berkontribusi dan menjadi pelopor
di Kemenkeu melalui program edukasi
bersama “Kami Generasi Sadar APBN”.
Kegiatan ini menekankan urgensi penerimaan negara pada APBN serta manfaatnya
kepada generasi penerus bangsa. Strategi yang ditempuh dapat berbagai macam,
diantaranya inklusi kesadaran literasi keuangan dalam pendidikan, kelas DJP dan
DJBC sinergi mengedukasi di sekolah dasar dan menengah, hingga membangun sistem
atau ruang belajar literasi keuangan secara maya yang dapat diakses oleh seluruh
siswa dari seluruh Indonesia. Hasil yang diharapkan adalah generasi emas
Indonesia yang cerdas dan sadar APBN sehingga menjadi calon pemangku
kepentingan patuh di masa depan.
Tiga
inisiatif kolaboratif ini diharapkan dapat meningkatkan fungsi DJBC dalam
mengamankan penerimaan negara, untuk menjadi lebih agile dan adaptif sehingga menjadi institusi yang ‘makin baik’.
Referensi:
Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020
www.kemenkeu.go.id (transformasi kelembagaan, APBN 2020) diakses pada 4
November 2020
Khotimah, Khusnul. 2014. Analisis Penerapan Joint Audit oleh Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak
sebagai Bentuk Self Assesment System serta Upaya Meningkatkan Kualitas Audit
dalam Rangka Mengoptimalkan Penerimaan Negara. Surabaya
OECD. 2015. Building
Tax Culture, Compliance and Citizenship. A Global Source Book on Taxpayer
Education. Paris: OECD Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar