Artikel ini adalah tulisan untuk mengikuti lomba dari komunitas menulis binaan Om Budiman Hakim dan Kang Asep Herna, namanya "The Writers". Tulisan yang menang dapet hadiah uang yang lumayan gede, makanya aku tertarik ikutan. Sayangnya ga menang hehe. Tapi emang tulisan yang juara 1 keren banget, nyeritain pengalamannya waktu terpisah sama keluarganya pas hectic gempa Lombok. Bacanya ikutan deg-degan dan panik, bener-bener alur cerita yang bisa menyentuh kalbu pembaca. Lalu kemudian karya-karya terbaik sisanya dibukukan gitu. Dan punyaku....hmmm ya jelas enggaklah haha. Ternyata baru sadar kalo aku salah strategi. Tulisannya mostly tulisan gaya frees style berkonsep naratif, sedangkan tulisanku lebih ke arah esai. But it's okay, never stop learning. Oiya, tulisan ini juga aku post di website-nya The Writers disini
Saat kehamilanku sudah mendekati Hari Perkiraan Lahir (HPL), pikiranku mulai berkecamuk. Alih-alih merasa bahagia karena akan segera bertemu bayiku, aku justru dibayang-bayangi perasaan takut yang sulit dijelaskan. Banyak pertanyaan menggantung di ruang pikirku mulai dari apakah akan sesakit yang diceritakan orang-orang? Apakah prosesnya akan berlangsung lama dan menyengsarakan? Apakah aku dapat melaluinya dengan tenang…..dan selamat. Dan apakah-apakah lainnya yang menyita kewarasanku. Jika sudah demikian hanya satu jurus yang dapat mendamaikanku. Berkomunikasi. Pertama berkomunikasi dengan Tuhan sebagai penolongku. Kedua berkomunikasi dengan janin di dalam perutku untuk dapat kuajak bekerja sama. Sekejap, rasa takut itupun berangsur menghilang.
Pernah pula aku dihadapkan pada situasi yang
sangat dilematis. Di tengah situasi pandemi saat ini, logika mendorongku untuk
terus waspada. Terlebih aku memiliki bayi dan kedua orang tua yang memiliki
penyakit penyerta. Aku harus benar-benar awas dan berhati-hati untuk tidak
tertular dan menularkan Covid-19 tanpa disadari. Dilema muncul ketika acapkali
datang tawaran kumpul-kumpul teman atau keluarga di musim seperti ini.
Mengkomunikasikan kepada mereka yang tidak semua memiliki pemahaman yang sama
tentang bahaya penyakit ini adalah sebuah tantangan tersendiri. Belum lagi,
sindiran keras yang justru terlontar jika berani menolak hadir. Di sisi lain,
nuraniku berontak, tidak berani kugadaikan keselamatan orang-orang tersayangku
dengan ketakutan pada cemoohan. Akhirnya aku bertekad untuk berani melawan rasa
takut dan menolak kalah dengan rasa sungkan, tentu dengan jujur menyampaikan
alasan untuk izin tidak ikut acara. Untung saja, mereka dapat memahami
kondisiku dan tidak memaksakan kehendak lagi.
Dua pengalaman tersebut adalah kisah nyata
bagaimana komunikasi menjadi strategi ampuh bagiku untuk melawan ketakutan.
Ketakutan? Ya, bukankah ketakutan alias phobia
juga bagian dari suatu permasalahan pribadi kita?
Lalu, apa ketakutan terbesarmu?
Pada umumnya orang-orang akan menjawab hal-hal
random yang diterima akal sebagai sesuatu yang memang menakutkan. Misalnya
hewan buas, ketinggian, tempat sempit dan gelap, dan lain-lain. Tapi tahukah
kamu apa ketakutan terbesar 3 dari 4 orang di dunia? Berdasarkan hasil survei yang
diungkapkan oleh Christine Stuart dalam bukunya “Effective Speaking” diketahui bahwa ketakutan terbesar orang-orang
yang disampling adalah berbicara di depan publik!
Survei ini meminta 3000 orang dewasa di Amerika
untuk menuliskan 10 ketakutan terbesar dalam hidupnya. Phobia public speaking
keluar di urutan teratas dengan persentase 41% disusul oleh phobia ketinggian dengan persentase 32%,
phobia serangga dengan persentase
24%, phobia permasalahan finansial
dengan persentase 23%, dan phobia
kematian dengan persentase 19%. Bahkan faktanya, 5% dari populasi dunia atau
ratusan juta orang berusia 18 hingga 24 tahun mengalami phobia public speaking setiap
tahunnya, tanpa mengenal gender.
Aku menyaksikan sendiri seniorku di kantor yang
dikenal jenaka dan memiliki interpersonal
skill yang baik, mendadak pucat dan berkeringat dingin saat diminta
presentasi di depan forum. Bahkan tangannya yang memegang kertas pun terus
gemetar akibat menahan nervous yang
teramat sangat. Kakinya tremor, pun intonasi suaranya terdengar bergetar seperti
akan menangis. Dari pengakuan beliau, phobia
public speaking telah lama dialami
oleh beliau, bahkan sampai detik ini saat beliau telah menjadi pejabat. Padahal
sebagai seorang pejabat fungsional, beliau dituntut untuk familiar dengan
kemampuan komunikasi dan negosiasi, serta berbicara formal di depan
khalayak.
Ketakutan berbicara di depan publik ini disebut
dengan Glossophobia. Glossophobia berasal dari bahasa Yunani glossa yang
berarti lidah, dan phobos yang berarti ketakutan. Phobia ini dapat berkembang
menjadi ketakutan sosial (social phobia)
atau gangguang kecemasan sosial (social
anxiety).
Gejala umum yang dialami pengidap Glossophobia
antara lain wajah memerah (blushing),
berkeringat (sweating), gemetar (trembling), jantung berdegup kencang (palpitation), mual (nausea), gagap (stammering),
dan berbicara dengan sangat cepat (rapid
speech). Persis seperti gejala yang
dialami seniorku tadi. Cerita berbeda, mentor kelas public speaking-ku pun pernah mengalami kondisi semacam ini sedari
kecil. Dari cerita beliau, glossophobia versinya konon disebabkan karena vonis
dokter. Akibat benturan kepala belakang yang dialami beliau saat kecil, dokter
mendiagnosa bahwa terjadi permasalahan pada otak beliau yang menyebabkan
kemungkinan gangguan bicara. Vonis dokter itu seolah tersugesti kuat dalam
persepsi beliau. Akibatnya dari kecil hingga dewasa, beliau tumbuh dengan
keyakinan bahwa beliau mengalami gagap bicara yang menyebabkan beliau takut
untuk berbicara di depan umum.
Untungnya, beliau cepat tersadar dan bertekad
untuk keluar dari ketakutan ini. Komitmen beliau dimulai dengan pemahaman bahwa
phobia akan public speaking akan berdampak negatif pada karir dan akan
berakibat negatif pula bila tidak dilakukan sesuatu terhadapnya. Niat untuk
melepaskan diri dari cengkeraman glossophobia inilah yang kemudian
mengantarkannya justru menjadi mentor public
speaking. Apa rahasianya? Salah satunya adalah rutin mengajak komunikasi
diri sendiri di depan kaca. Berlatih dan terus berlatih. Bagaimana mungkin?
------------------
Pada hakikatnya, public speaking sendiri adalah salah satu seni berkomunikasi untuk
menyampaikan ide atau gagasan, barang, dan jasa di depan publik atau khalayak
ramai. Seni komunikasi ini erat kaitannya dengan kemampuan mempengaruhi audiens
atau mengedukasi pendengar terkait topik yang dibahas. Tujuannya adalah membuat
pendengar atau lawan bicara memahami materi yang didiskusikan atau
dipresentasikan dalam periode waktu tertentu. Urgensi dari penguasaan public speaking sendiri antara lain
menggenjot performa di berbagai bidang kehidupan, sebagai salah satu cara self-branding yang membedakan value diri kita dengan orang lain, dan
sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan yang kita bawa kepada
orang lain.
Apakah seseorang yang jago public speaking itu murni karena bakat? Jawabannya tidak. Keahlian
ini dapat diraih dengan intensitas praktik dan latihan. Seperti cerita mentorku
di atas. Sayangnya, hal yang menghalangi seseorang untuk mengembangkan
kemampuan public speaking-nya justru
karena rasa gugup dan takut. Padahal seperti ulasanku sebelumnya, kemampuan
komunikasi yang mumpuni justru akan menggerus banyak ketakutan-ketakutan dalam
hidup kita.
Lalu bagaimana caranya untuk menjadi pembicara
yang katakanlah ideal itu?
Setidaknya ada dua teknik public speaking yang dapat kita asah. Pertama dari sisi Verbal Communication dikenal dengan
singkatan P-I-C-T-U-R-E yakni Pitch
(ketinggian suara), Intonation
(intonasi), Courtesy (kesopanan), Tone (nada), Understanding (pengertian), Rate
(kecepatan), dan Enunciation (lafal
ucapan). Kedua dari sisi Nonverbal
Communication dikenal dengan singkatan P-E-O-P-L-E yakni Posture & gesture (postur dan
gestur), Eye contact (kontak mata), Orientation (orientasi/ tujuan), Presentation (presentasi), Looks (penampilan), dan Expression of emotions (ekspresi).
Yang tidak kalah penting adalah menghayati 8
aturan emas atau golden rules dalam public speaking sebagai bekal. Aturan
pertama adalah preparation
(persiapan) seperti menyiapkan kerangka ide, membuat naskah, membuat paparan
atau grafis, dan berlatih. Aturan kedua adalah opening (pembukaan) yakni bagaimana menarik perhatian audiens dalam
waktu 1,5 menit dan memikirkan 200 kata pertama yang akan terucap sebagai grabber. Aturan ketiga adalah purpose (tujuan) yang dimulai dengan
pertanyaan yang memposisikan pembicara pada role audiens, “Mengapa saya ada di
sini? Apa yang ingin saya dapatkan sepulang dari sini?” Aturan keempat adalah structure (struktur) yaitu tentang
bagaimana membangun ketertarikan, memberikan pemahaman, mencetak dampak
positif, menjawab pertanyaan, hingga mengarahkan pada aksi. Aturan kelima
adalah timing (durasi waktu) yang
harus disiplin dengan rancangan agenda yang sudah dipersiapkan.
Aturan
keenam adalah voice (suara) yaitu
menyiapkan suara dengan melakukan pemanasan agar tone dan intonasinya tepat serta artikulasinya jelas. Aturan
ketujuh yaitu notes (catatan) agar
memudahkan dalam mengingat poin-poin materi. Aturan kedelapan adalah execution (eksekusi) yaitu saat
menampilkan presentasi di hadapan audiens dengan memanajemen segala kerangka
ide dari topik utama yang akan dipaparkan. Dalam beberapa kesempatan, unsur
humor dapat disisipkan sebagai strategi membangun kedekatan dengan audiens.
Akan tetapi penting diingat bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan nge-jokes dengan elegan, oleh karenanya bila
tidak benar-benar siap sebaiknya cara ini dapat dihindari.
Penguasaan public
speaking tentu akan bermanfaat dalam mengangkat nilai seseorang. Bagaimana
tidak, public speaking telah
merangkum semua teknik komunikasi yang diimplementasikan dalam keseharian.
Mulai dari komunikasi lisan, tertulis, bahkan komunikasi batin kita kepada
Tuhan karena pasti kita akan khusyuk berdoa sebelum tampil. Maka tidak ada lagi
keraguan untuk tidak berlatih dan mengasah skill
public speaking sebagai metode untuk menghilangkan ketakutan dalam berkomunikasi.
Karena ketakutan itu pada dasarnya datang dari dalam diri kita dan dapat
dieliminasi pula oleh niat dan komitmen kita.
Ingat, kesuksesan adalah 1% keberuntungan dan
99% ikhtiar dibalut doa. Mulai sekarang jangan takut bicara lagi ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar