Artikel ini merupakan artikel yang saya tulis saat mengikuti lomba menulis artikel dari Bisnis Indonesia, namun belum berhasil placement. Well, ini saya buat hanya dalam waktu 2 jam sebelum deadline upload. Banyak distraksi yang membuat saya jadi kurang produktif belakangan ini. Hiks...
Indonesia menandai babak baru dalam mewujudkan
ambisi besar transformasi energi menuju Energi Bersih Terbarukan (EBT). Sebagai
pemegang presidensi G20 tahun 2022, upaya ini menjadi ajang unjuk gigi komitmen
Indonesia di mata dunia dalam upaya pengurangan emisi karbon.
Pasalnya, Presiden Joko Widodo baru saja
meresmikan peluncuran Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra
Fast Charging pertama di Indonesia pada Jumat, 25 Maret 2022 di Parkir Sentral
ITDC Nusa Dua Bali.
Dilansir dari laman sosial media Instagram
Presiden @jokowi, peluncuran ini dilakukan dalam rangka mendukung kegiatan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-Negara G20 di Bali pada November 2022.
Sebanyak 60 SPKLU Ultra Fast Charging 200 KW dan 150 titik fasilitas home charging yang telah disiapkan Perusahaan
Listrik Negara (PLN) akan digunakan untuk mengisi daya mobil listrik bagi
seluruh delegasi KTT G20. Ini hanyalah salah satu contoh komitmen yang
direalisasikan Indonesia dalam kapasitasnya sebagai pemegang Presidensi G20
tahun 2022.
Sustainable Energy
Transition atau
Transisi Energi Berkelanjutan merupakan salah satu isu prioritas yang diangkat
oleh Indonesia dalam Presidensi G20 tahun ini. Dengan memformulasikan isu ini,
Indonesia mengharapkan upaya dekarbonisasi melalui akselerasi transisi energi menuju
energi bersih terbarukan demi keberlangsungan komunitas global. Indonesia
digadang-gadang mampu menjadi katalisator dan motor yang memberikan teladan
melalui konsep lead by example.
Transisi energi akan menekan pelepasan gas
karbon ke udara sebagai penyumbang terbesar efek rumah kaca. Peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca inilah yang berpotensi mengakselerasi laju pemanasan
global. Pemanasan global atau global warming inilah yang menyebabkan katasrofe
yang jauh lebih dahsyat dibandingkan pandemi Covid-19. Malapetaka yang menjadi
ancaman nyata di depan mata yang tidak saja dapat menimbulkan datangnya pandemi
lainnya, tetapi juga bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut dan
curah hujan, cuaca ekstrem, migrasi besar-besaran, kelaparan, hingga disrupsi
di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat mengancam kelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Ialah perubahan iklim.
Berbekal komitmen yang disepakati dalam
Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow pada 2021 lalu, Indonesia
menegaskan kembali pentingnya upaya adaptasi, mitigasi, dan pendanaan iklim
dalam rangka mewujudkan ambisi besar emisi nol bersih (Net Zero Emission). Di
samping upaya seluruh pemimpin negara untuk mempertahankan kenaikan suhu
rata-rata Bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celcius setiap tahunnya.
Indonesia memegang andil besar dalam
kepemimpinannya sebagai Presidensi G20, pun dengan peran yang disandang Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagai Co-Chair Koalisi Menteri Keuangan Dunia
untuk Aksi Perubahan Iklim periode 2021-2023. Terpilihnya Menteri Keuangan
Indonesia mengafirmasi kepercayaan internasional sekaligus menambahkan posisi
strategis Indonesia dalam penanganan perubahan iklim global.
Mengingat besarnya urgensi tersebut, pembahasan
iklim diangkat dalam agenda pertemuan G20 Presidensi Indonesia. Isu ini dibahas
baik pada jalur Sherpa (Sherpa track), jalur keuangan (Finance track), termasuk
dalam grup kerja (Working Group).
Pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Sentral pertama di Jakarta pada Februari 2022 lalu telah menghasilkan
komunike yang akan dilakoni bersama. Pembahasan mengenai upaya penanganan
perubahan iklim dituangkan dalam poin nomor 9 dan 10. Secara garis besar,
negara-negara G20 bersepakat untuk memperkuat komitmen global dalam rangka
mencapai tujuan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change), Perjanjian Paris, dan COP26.
Berikutnya, para petinggi di jalur Keuangan G20
juga menegaskan tentang keuangan hijau yang berkelanjutan dengan
mempertimbangkan pemulihan ekonomi global dan pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals).
Eksposur yang tidak kalah penting adalah
mendorong komitmen negara-negara maju dalam upaya mobilisasi pendanaan iklim
bersama sebesar USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020 dan setiap tahun
hingga tahun 2025 untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang.
Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat menjadi
kolaborasi global dalam rangka penanganan laju perubahan iklim melalui transisi
energi, serta bagaimana Indonesia dapat memaksimalkan peran lead by example
berdasarkan strategi yang telah ditempuh hingga saat ini.
Pertama, penerapan kebijakan hijau yang distandardisasi
secara internasional dengan target nyata mewujudkan emisi nol bersih.
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa
Indonesia ditargetkan mampu mencapai emisi nol bersih 100% pada 2060. Sementara
Indonesia sendiri memiliki target untuk mencapai Nationally Determined
Contribution (NDC) yaitu menurukan emisi karbon sebesar 29% dengan upaya
sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Komitmen Indonesia dalam Paris
Agreement ini telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016.
Adapun Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021
mengatur tentang Mekanisme Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kerangka
materialnya setidaknya terdiri dari 4 hal yaitu perdagangan karbon, Pembayaran
Berbasis Kinerja (Result-Based Payment), pungutan atas Pajak Karbon, dan
mekanisme lainnya dalam hal ini antara lain Mekanisme Transisi Energi (Energy
Transition Mechanism).
Disamping hal tersebut, Indonesia telah
memiliki peta jalan karbon yang memberikan gambaran linimasa upaya transisi
energi dalam rangka penurunan emisi karbon. Diantaranya melalui pembentukan
Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang masih dalam
proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Harmonisasi antarkebijakan dan keberhasilan
pengimplementasiannya menjadi sorotan utama dalam hal Indonesia sebagai acuan
di mata dunia.
Kedua, mengeliminasi penggunaan bahan bakar
fosil, menghapus subsidi bahan bakar fosil, dan penghentian Pembangkit Listrik
yang menggunakan sumber energi berbahan bakar fosil.
Isu ini masih menjadi problematika yang
sensitif bagi sebagian negara mengingat ekonomi mereka bergantung pada sejumlah
sektor yang bertumpu pada energi berbasis fosil.
Sektor penyumbang gas karbon terbesar di
Indonesia adalah industri (37%), kelistrikan (27%) dan transportasi (27%).
Ironi ini menguatkan fakta bahwa sektor tersebut masih menggunakan bahan
bakar dari sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Tantangan ini harus
mampu dipatahkan dengan mengkampanyekan aksi nyata dan keberhasilan transisi
energi menuju EBT.
Indonesia memiliki potensi yang besar dalam hal
EBT diantaranya energi panas bumi, panas matahari, gelombang, arus, dan panas
permukaan laut, sungai, dan angin. Sinyal ini merupakan satu kesempatan Indonesia
untuk mengembangkan dan membuka investasi hijau dan skema pendanaan berkonsep
ekonomi hijau.
Ketiga, penguatan keuangan hijau berkelanjutan
dan menerapkan intervensi fiskal.
Pendanaan menjadi satu aspek utama dalam
pengembangan transisi hijau menuju EBT. Mendorong partisipasi modal swasta
dalam investasi berkelanjutan yang mempromosikan transisi hijau dapat menjadi
opsi. Melibatkan publik dengan membuka kesempatan investasi melalui instrumen
pembiayaan inovatif seperti green bond
atau green sukuk juga telah dilakukan
Indonesia.
Sementara penganggaran dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah dilakukan dengan berdasarkan Climate
Budget Tagging, yaitu instrumen pendanaan bagi perubahan iklim. Pemerintah juga
membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai pengelola dana
terkait kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon dan
lainnya di Kementerian dan/atau Lembaga.
Sisi fiskal memberikan sumbangsih dalam wujud
penerapan pajak karbon. Indonesia adalah salah satu negara yang meneken
penerapan pajak karbon dengan skema cap and tax yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Beleid ini
setidaknya diharapkan mampu mengurangi eksternalitas negatif atas dampak yang
dihasilkan emisi karbon.
Dengan semangat Recover Together, Recover
Stronger, Indonesia sebagai pimpinan G20 pada 2022 dapat menjadi ujung tombak
pengendali iklim. Pun mengajak seluruh negara-negara G20 sebagai 20 negara
dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, untuk dapat melakukan pendekatan
ekonomi sebagai salah satu upaya dalam penanganan perubahan iklim melalui
transisi energi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar