Artikel ini merupakan artikel kedua yang aku submit untuk lomba menulis artikel pajak DDTC tahun 2020 tetapi belum berhasil lolos kurasi untuk tayang di website sebagai salah satu kandidat pemenang
Perluasan basis data perpajakan atau tax base menjadi tagline optimalisasi penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2020. Hal ini selaras dengan rencana strategis (renstra) DJP 2020-2024 yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-389/PJ/2020. Sayangnya, merebaknya wabah Corona Virus Disease (Covid-19) global telah membalikkan arah ekonomi secara drastis dari pertumbuhan menjadi kontraksi bahkan resesi. DJP dituntut untuk adaptif dan agile dengan perubahan kritikal yang terjadi, khususnya merespon perlambatan ekonomi domestik yang berdampak pada penurunan penerimaan negara.
Di masa pandemi ini, potensi yang dimiliki DJP
adalah pesatnya pertumbuhan e-commerce
seiring dengan pesatnya transaksi perdagangan secara daring. Berdasarkan hasil
survei Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Sosial Demografi Dampak
Covid-19 Tahun 2020, terjadi peningkatan aktivitas belanja online sebesar 42% oleh
responden serta peningkatan penjualan produk di marketplace sebesar 20% dibandingkan baseline sebelum pandemi. Kendati demikian, tantangan juga harus
dihadapi DJP dengan belum tersedianya basis data transaksi digital yang valid
dan reliable. Dengan bergulirnya
reformasi perpajakan jilid III pada tubuh DJP, diharapkan perbaikan dan
penyempurnaan berbagai aspek seperti organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM),
teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan regulasi dapat terus
diakselerasi. Reformasi pajak dalam
bentuk kebijakan (policy) dan
administrasi (administration)
diharapkan dapat meningkatkan basis data perpajakan yang bermuara pada
peningkatan penerimaan pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Di sisi lain, beberapa negara OECD justru
menunda pengimplementasian reformasi pajak. Penundaan ini diantaranya terkait
implementasi e-filing, pengenalan pajak baru, dan atau perubahan pajak berjalan. Italia
misalnya yang menunda pengaplikasian pelaporan penjualan harian oleh pedagang
retail secara elektronik sampai tahun depan. Sebaliknya, beberapa negara malahan
mengimplementasikan pengenaan pajak baru sebagai salah satu upaya pendanaan
untuk penanggulangan dampak Covid-19. Sebut saja Indonesia yang mengenakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital yang dijual oleh penyedia
jasa luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan di Indonesia (OECD
journal “Tax Policy Reform 2020”).
Terkait perlakuan pajak kegiatan Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PSME)
ini, beleid telah ditetapkan melalui
UU Nomor 2 tahun 2020. Aturan pelaksanaannya tercantum dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PMK-48/PMK.03/2020 dan kebijakan PSME resmi berlaku sejak 1 Juli
2020. Selain sebagai usaha penggalian potensi pajak, kebijakan ini penting
sebagai perwujudan keadilan dalam pemungutan pajak.
Misi awal DJP untuk mengawal penerimaan
pajak seoptimal mungkin menjadi cukup dilematis ketika dihadapkan dengan
kewajiban untuk memperluas pemanfaatan insentif perpajakan dalam rangka
penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Fasilitas pajak yang dikucurkan
pemerintah melalui realokasi APBN diharapkan dapat menggenjot perekonomian di
sisi supply dan demand. Padahal, penerimaan pajak tak kalah penting untuk mengisi
pos penerimaan APBN di situasi krisis ini. Menjawab ini,penting untuk
digarisbawahi bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan unprecedented situation
yang membutuhkan fokus tidak hanya pada memaksimalkan penerimaan pajak,
melainkan menyelamatkan ekonomi agar tetap survive.
Pande Putu Oka K., Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) dalam Webinar Tax
Challenges and Reforms to Finance the COVID-19 Recovery and Beyond pada 1
Oktober 2020 menyatakan bahwa kepatuhan pajak, tata kelola pemerintahan yang
baik, dan keadilan adalah area yang harus menjadi perhatian. Diharapkan dengan
upaya tersebut dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat basis data
perpajakan.
Perluasan Tax Base Berbasis Penguasaan Wilayah
Bicara perluasan basis data,
sesungguhnya bukan hal baru bagi DJP. Effort
yang menjadi bagian dari kegiatan ekstensifikasi ini telah familiar diwujudkan
melalui berbagai program seperti Sensus Pajak Nasional (SPN), canvassing, dan yang masih berjalan saat
ini adalah geotagging. Sementara itu,
inisiatif strategis yang telah dicanangkan DJP pada tahun ini adalah perluasan tax base dalam rangka pengamanan
penerimaan pajak. Ditumpukan pada dua klasifikasi kegiatan yaitu pengawasan
wajib pajak strategis dan pengawasan berbasis penguasaan kewilayahan. Sejalan
dengan itu, Dirjen Pajak telah meneken KEP-75/PJ/2020 terkait perubahan tugas
dan fungsi (tusi) KPP Pratama yang resmi berlaku sejak awal Maret 2020.
Perubahan tusi tersebut merupakan
salah satu perwujudan dari reformasi pajak jilid III khususnya pembenahan pilar
pertama organisasi, pilar kedua SDM dan pilar keempat proses bisnis. Perubahan
tusi tersebut diharapkan mampu membantu DJP dalam menangani wajib pajak dengan
lebih adil dan transparan serta melakukan manajemen sumber daya menjadi lebih
efektif dan lebih efisien. Pada akhirnya akan mewujudkan paradigma kepatuhan
yang baru bagi DJP yaitu kepatuhan yang berkelanjutan (SE-24/PJ/2019). Muaranya
juga tentu pada tax base.
Di masa pandemi ini, banyak
terobosan yang dapat diimplementasikan ihwal perluasan tax base. Salah satu contoh keberhasilan adalah inovasi oleh Kantor
Wilayah DJP Jawa Tengah I. Melalui pendekatan digital/ teknologi informasi,
Kanwil DJP Jateng I menciptakan aplikasi penunjang perluasan tax base berjuluk Pengayaan Data Jateng
I (PANDJI). Aplikasi ini memanfaatkan data unit bisnis yang tersedia dari
Google Map serta data geotagging ECTag
yang disandingkan dengan Masterfile
DJP. Apabila berdasarkan observasi terdapat celah atau gap, petugas pajak dapat melengkapi datanya melalui aplikasi.
Aplikasi ini sangat user friendly dan
mudah diakses melalui gawai yang terkoneksi internet.
Sebagaimana kita ketahui aktivitas gowes tengah
menjadi primadona di masa pandemi ini. Kanwil DJP Jateng I pun memiliki inovasi
kegiatan yakni pengenalan sinyal ekonomi atau point of interest (poi) melalui
kegiatan bersepeda yang diberi nama gowes
bysikil poi. Poi yang dikenali kemudian direkam melalui aplikasi PANDJI. Apabila
kegiatan luar ruang terkendala, masih ada satu inovasi yang dapat dilakukan di
belakang meja. Kegiatan tersebut adalah penilaian suatu objek pajak dari jarak
jauh untuk menggali potensi pajaknya yang dijuluki remote sensing valuation.
Kedua contoh inovasi ini merepresentasikan
keberhasilan implementasi flexible
working space sebagai bentuk adaptasi kinerja dalam merespon pandemi
Covid-19. Budaya kinerja yang diperkenalkan Kanwil DJP Jateng I ini juga
merepresentasikan penguatan lima pilar reformasi pajak dalam ranah mikro yang
dapat berdampak makro bagi DJP dalam hal peningkatan kuantitas dan kualitas tax base.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar