Selasa, 27 Juli 2021

Perluasan Tax Base, Peluang dan Tantangan di Era Reformasi dan Masa Pandemi

Artikel ini merupakan artikel kedua yang aku submit untuk lomba menulis artikel pajak DDTC tahun 2020 tetapi belum berhasil lolos kurasi untuk tayang di website sebagai salah satu kandidat pemenang            

        Perluasan basis data perpajakan atau tax base menjadi tagline optimalisasi penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2020. Hal ini selaras dengan rencana strategis (renstra) DJP 2020-2024 yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-389/PJ/2020. Sayangnya, merebaknya wabah Corona Virus Disease (Covid-19) global telah membalikkan arah ekonomi secara drastis dari pertumbuhan menjadi kontraksi bahkan resesi. DJP dituntut untuk adaptif dan agile dengan perubahan kritikal yang terjadi, khususnya merespon perlambatan ekonomi domestik yang berdampak pada penurunan penerimaan negara.

Di masa pandemi ini, potensi yang dimiliki DJP adalah pesatnya pertumbuhan e-commerce seiring dengan pesatnya transaksi perdagangan secara daring. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Sosial Demografi Dampak Covid-19 Tahun 2020, terjadi peningkatan aktivitas belanja online  sebesar 42% oleh responden serta peningkatan penjualan produk di marketplace sebesar 20% dibandingkan baseline sebelum pandemi. Kendati demikian, tantangan juga harus dihadapi DJP dengan belum tersedianya basis data transaksi digital yang valid dan reliable. Dengan bergulirnya reformasi perpajakan jilid III pada tubuh DJP, diharapkan perbaikan dan penyempurnaan berbagai aspek seperti organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan regulasi dapat terus diakselerasi. Reformasi pajak dalam  bentuk kebijakan (policy) dan administrasi (administration) diharapkan dapat meningkatkan basis data perpajakan yang bermuara pada peningkatan penerimaan pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Di sisi lain, beberapa negara OECD justru menunda pengimplementasian reformasi pajak. Penundaan ini diantaranya terkait implementasi e-filing, pengenalan pajak baru, dan atau perubahan pajak berjalan. Italia misalnya yang menunda pengaplikasian pelaporan penjualan harian oleh pedagang retail secara elektronik sampai tahun depan. Sebaliknya, beberapa negara malahan mengimplementasikan pengenaan pajak baru sebagai salah satu upaya pendanaan untuk penanggulangan dampak Covid-19. Sebut saja Indonesia yang mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital yang dijual oleh penyedia jasa luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan di Indonesia (OECD journal “Tax Policy Reform 2020”). Terkait perlakuan pajak kegiatan Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PSME) ini, beleid telah ditetapkan melalui UU Nomor 2 tahun 2020. Aturan pelaksanaannya tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-48/PMK.03/2020 dan kebijakan PSME resmi berlaku sejak 1 Juli 2020. Selain sebagai usaha penggalian potensi pajak, kebijakan ini penting sebagai perwujudan keadilan dalam pemungutan pajak.

                Misi awal DJP untuk mengawal penerimaan pajak seoptimal mungkin menjadi cukup dilematis ketika dihadapkan dengan kewajiban untuk memperluas pemanfaatan insentif perpajakan dalam rangka penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Fasilitas pajak yang dikucurkan pemerintah melalui realokasi APBN diharapkan dapat menggenjot perekonomian di sisi supply dan demand. Padahal, penerimaan pajak tak kalah penting untuk mengisi pos penerimaan APBN di situasi krisis ini. Menjawab ini,penting untuk digarisbawahi bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan unprecedented situation yang membutuhkan fokus tidak hanya pada memaksimalkan penerimaan pajak, melainkan menyelamatkan ekonomi agar tetap survive. Pande Putu Oka K., Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam Webinar Tax Challenges and Reforms to Finance the COVID-19 Recovery and Beyond pada 1 Oktober 2020 menyatakan bahwa kepatuhan pajak, tata kelola pemerintahan yang baik, dan keadilan adalah area yang harus menjadi perhatian. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat basis data perpajakan.

Perluasan Tax Base Berbasis Penguasaan Wilayah

        Bicara perluasan basis data, sesungguhnya bukan hal baru bagi DJP. Effort yang menjadi bagian dari kegiatan ekstensifikasi ini telah familiar diwujudkan melalui berbagai program seperti Sensus Pajak Nasional (SPN), canvassing, dan yang masih berjalan saat ini adalah geotagging. Sementara itu, inisiatif strategis yang telah dicanangkan DJP pada tahun ini adalah perluasan tax base dalam rangka pengamanan penerimaan pajak. Ditumpukan pada dua klasifikasi kegiatan yaitu pengawasan wajib pajak strategis dan pengawasan berbasis penguasaan kewilayahan. Sejalan dengan itu, Dirjen Pajak telah meneken KEP-75/PJ/2020 terkait perubahan tugas dan fungsi (tusi) KPP Pratama yang resmi berlaku sejak awal Maret 2020.

      Perubahan tusi tersebut merupakan salah satu perwujudan dari reformasi pajak jilid III khususnya pembenahan pilar pertama organisasi, pilar kedua SDM dan pilar keempat proses bisnis. Perubahan tusi tersebut diharapkan mampu membantu DJP dalam menangani wajib pajak dengan lebih adil dan transparan serta melakukan manajemen sumber daya menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Pada akhirnya akan mewujudkan paradigma kepatuhan yang baru bagi DJP yaitu kepatuhan yang berkelanjutan (SE-24/PJ/2019). Muaranya juga tentu pada tax base.

          Di masa pandemi ini, banyak terobosan yang dapat diimplementasikan ihwal perluasan tax base. Salah satu contoh keberhasilan adalah inovasi oleh Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I. Melalui pendekatan digital/ teknologi informasi, Kanwil DJP Jateng I menciptakan aplikasi penunjang perluasan tax base berjuluk Pengayaan Data Jateng I (PANDJI). Aplikasi ini memanfaatkan data unit bisnis yang tersedia dari Google Map serta data geotagging ECTag yang disandingkan dengan Masterfile DJP. Apabila berdasarkan observasi terdapat celah atau gap, petugas pajak dapat melengkapi datanya melalui aplikasi. Aplikasi ini sangat user friendly dan mudah diakses melalui gawai yang terkoneksi internet.

Sebagaimana kita ketahui aktivitas gowes tengah menjadi primadona di masa pandemi ini. Kanwil DJP Jateng I pun memiliki inovasi kegiatan yakni pengenalan sinyal ekonomi atau point of interest (poi)  melalui kegiatan bersepeda yang diberi nama gowes bysikil poi. Poi yang dikenali kemudian direkam melalui aplikasi PANDJI. Apabila kegiatan luar ruang terkendala, masih ada satu inovasi yang dapat dilakukan di belakang meja. Kegiatan tersebut adalah penilaian suatu objek pajak dari jarak jauh untuk menggali potensi pajaknya yang dijuluki remote sensing valuation.

Kedua contoh inovasi ini merepresentasikan keberhasilan implementasi flexible working space sebagai bentuk adaptasi kinerja dalam merespon pandemi Covid-19. Budaya kinerja yang diperkenalkan Kanwil DJP Jateng I ini juga merepresentasikan penguatan lima pilar reformasi pajak dalam ranah mikro yang dapat berdampak makro bagi DJP dalam hal peningkatan kuantitas dan kualitas tax base.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar